BUDAYA BARITAN
Adat Masyarakat Memohon Turun Hujan
Rizky Ahmad Fahrezi, Ig : @joekysteel, Blog :rizky-fahrezi.blogspot.com/
Budaya adalah suatu cipta, karsa, dan karya dari setiap elemen manusia maupun kelompok maysarakat. Budaya penggambarkan karakter dan kebiasaan dari kelompok masyarakat tersebut, yang turut dipengaruhi oleh beragam faktor diantaranya faktor kondisi geografi, sejarah, iklim, suku atau etnis, daerah kebernegaraan, kebangsaan, ideology, spiritual, orientasi pemikiran ,ekonomi dan pengaruh figur-figur tertentu. Budaya sering sekali di manifestasikan dalam bentuk karya seni, pakaian, arsitektur, adat, ritual, gaya bersosial, nilai dan norma dalam keseharuan. Semisal saja factor kondisi geografi masyarakat dataran tinggi, dimana budaya masyarakat dataran tinggi sering di manifestasikan dengan banyaknya upacara adat atau ritual yang di laksanakan rutin diakarenakan kepercayaan mistisisme dan spiritualisme yang masih sangat mengakar kuat, dalam berpakaian mereka cenderung santun dan tertutup dikarenakan norma dan moralitas yang masih sangat kuat, interaksi diantara masyarakat cenderung lebih kuat dan solid dikarenakan banyaknya permasalahan yang disadari harus diselesaikan secara kekeluargaan dan kerjasama sosial yang tinggi, dalam mata pencaharian mereka mayoritas berprofesi sebagai petani dengan mengelola lading, sawah serta perkebunan.
Pada pembahasan kali ini sebagai ajang saling sharing dan berbagi pengetahuan keberagaman masyarakat, saya akan memaparkan bagaimana kondisi kebudayaan desa tempat saya lahir, yaitu Desa Birowo, Kecamatan Binangun, Kabupaten Blitar. Saya akan mengangkat salah satu adat atau ritual tahunan yang sangat ikonik dan bersejarah dari desa Birowo tersebut, yaitu upacara atau adat Baritan sebagai bentuk permohonan masyarakat (khusunya kelompok tani desa) kepada Allah Swt. untuk diturunkannya hujan
Kecamatan Binangun, khusunya desa Birowo merupakan salah satu wilayah yang bisa dikatakan terletak di bawah kaki dataran tinggi kidul atau yang biasa masyarakat sebut sebagai jajaran pegunungan kidul Dataran tinggi yang membentang dari ujung timur sampai barat pesisir pantai selatan jawa yang di istilahkan oleh masyarakat sebagai pagarnya pulau jawa. Maka dari itu kebudayaan di desa Birowo mencerminkan kebudayaan dan kebiasaan pada masyarakat dataran tinggi lainnya, seperti yang telah dipaparkan diatas. Mayoritas mata pencaharian masyarakat adalah petani di ladang, sawah, dan perkebunan, sehingga sangat identic dengan balutan kesederhanaan dan kebersamaan yang solid, sebagai contoh seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat tani sangat identic dengan gotong royongnya dalam mensukseskan sistem bercocok tanam sampai optimalisasi pengelolaan pertanian hingga membuahkan hasil panen yang mumpuni dan memuaskan, seperti tergambar dalam sistem pengelolaan akomodasi pengairan, pengelolaan kelompok tani yang menyangkut subsidi pupuk dan bibit-bibit unggul tanaman yang siap di optimalkan untuk seluruh masyarakat, pemberdayaan teknologi dan alat penunjang pengelolan, hingga pemberdayaan buruh tani yang juga sangat diperhatikan. Semua komponen tersebut disinerginakan dengan sangat ulet, efektif dan efisien sehingga dapat memenuhi dan menunjang ekonomi masyarakat desa.
Tidak hanya itu, masyarakat juga masih sangat identic dengan kepercayaan nenek moyang atau adat turum-temurun yang masih senantiasa dilestarikan dikarenakan tingkat spiritualisme dan kebudayaan yang masih sangat mengakar. Semisal saja dalam rentetan menyambut kelahiran bayi, masyarakat malakukan adat mengubur ari-ari, Brokohan, Sepasaran, Puputan, Selapanan, dan Aqiqah. Tak luput juga dalam bidang pertanian, kebudayaan spiritual juga masih sangat mengakar yang merupakan tradisi turun temurun. Dalam pertanian upacara adat masyarakat sering identik dengan upacara ritual dalam mengungkapkan rasa syukur, menolak balak ( hama ), dan memohon turunnya rezeki (hujan). Pada pemaparan kali ini akan dibahas ritual memohon untuk turunnya rezeki (hujan) yang ada di desa Birowo yaitu Upacara Baritan.
Baritan adalah tradisi turun temurun dari nenek moyang yang terdapat di desa Birowo, mungkin tidak hanya di desa saya tersebut upacara ini digelar hanya saja di desa saya upacara ini masih sangat di lestarikan setiap tahunnya. Upacara ini digelar dalam upaya memohon turunya hujan kepada Allah Swt., lebih tepatnya memohon untuk diturunkannya hujan dengan intensitas yang lebih atau berkala sebagai penunjang pengelolaan pertanian yang pada khusunya para petani jagung. Upacara ini sering digelar saat hujan belum sama sekali turun atau hujan yang turun kurang berkala dan menggunakan tanaman jagung sebagai indicator utamanya. Sebagai gambaran yaitu saat sudah jatuh tempo masyarakat akan bercocok tanam jagung ( ulur jagung) akan tetapi hujan belum juga turun dengan intensitas yang lebih maka upacara ini akan segera digelar. Upacara ini juga akan digelar ketika hujan yang tak kunjung turun dalam intensitas yang lebih ketika tanaman jagung sudah kemlewer (istilah masyarakat untuk jagung yang masih tumbuh daun kecil menjuntai berjumlah 5). Upacara Baritan pada umunya sering dilaksanakan pada bulan-bulan Juli-November, yaitu bulan-bulan yang pada umumnya masyarakat desa bercocok tanam khusunya jagung.
Upacara baritan umumnya dilaksanakan pada hari Jum’at, khusunya pada Jum’at Legi, dikarenakan jumat diangap sebagai hari suci dan barokah. Dalam teknis dan alur pelaksanaannya, Baritan dilaksanakan di pusat keramaian desa seperti masjid dan perempatan, akan tetapi di desa Birowo lebih sering dilaksanakan di perempatan dikarenakan kepercayaan yang mengatakan bahwa peletakan batu bertama pembangunan desa adalah di tengah salah satu titik perempatan di desa saya tersebut. Kemudian setiap anggota keluarga di desa di anjurkan untuk membawa Takir ( istilah untuk makanan porsi sedang yang dibungkus daun pisang) dengan lauk tahu, tempe, telur atau daging sejumlah dengan banyaknya anggota keluarga yang masih hidup. Beberapa anggota keluarga juga diminta membuat minuman Dawet (minuman degan khas cendol didalamnya). Kemudian seluruh makanan dan minuman tersebut ditaruh ditengah perempatan, lalu seluruh warga yang berpartisipasi diharap untuk berkerumun melingkari hidangan makanan tersebut, kemudian upacara tersebut dilaksanakan dengan dipimpin oleh tokoh masyarakat seperti ulama, kiyai, kepala desa atau moden dengan membacakan tawwasul, istigoshah, dan ditutup dengan doa. Pada puncaknya salah satu tokoh masyarakat akan mengambil minuman dawet tadi kemudian menggamburkannya keatas, bukan tanpa maksut bahwa hal tersebut merupakan bentuk tradisi yang masih dipertahankan sebagai perumpamaan hujan yang akan mengguyur bumi sebagai pembawa rezeki yang penuh kenikmatan manis bukan malah membawa balak. Saat melempar manuman Dawet tersebut, masyarakat dianjurkan saling melantunkan doa pujian Allahu Yaa Karim… dengan lantang dan melagukannya. Setelah itu kemudian masyarakat langsung berebut hidangan yang telah disediakan di tengah perempatan tadi sebagai symbol kerukunan dan kebahagiaan masyarakat yang dirasakan bersama saat turunnya hujan nanti.
Sekian sedikit pemaparan mengenai budaya lokal masyarakat desa Birowo, Kecamatan Binangun, Kabupaten Blitar. Pelajaran yang dapat kita petik adalah alangkah indahnya kehidupan dalam keseharian apabila msyarakat saling bersinergi, bekerja-sama, bergotong-royong, dan menjiwai dalam setiap sendi kedidupan dalam balutan kekeluargaan. alangkah betapa indahnya kehidupan apabila semua kebudayaan tersebut digunakan sebagai ajang pemersatu masyarakat tanpa memandang glongan, kastanisasi, tingkat sosial, dan kepentingan tertentu, mereka semua merasa sama dan senasib apabila kebudayaan telah mengakar dalam darah mereka kemudian bersama-sama untuk melestarikannya. Alangkah indahnya sebuah kebudayaan warisan nenek moyang yang harus senantiasa dilestarikan, jikalau memang dahulu identic dengan kepercayaan mistis sekarang mari di akulturasikan dengan nilai keagamaan yang lebih relevan dengan kondsi masyarakat kita, seperti akulturasi antara budaya warisan lekluhur dengan nilai Islam tanpa menghilangkan eksistensinya dan memasukkan esensi nilai islam di dalamnya. Dengan kebersamaan dan karakter luhur kebudayaan yang mengakar, juga akan membelenggu golongan ekstrimis dan radikalis yang baru-baru ini sangat nyata merusak sendi-sendi kehidupan dengan mangatas namakan kebenaran sepihak. Oleh Karena itu, mari kita semua melestarikan keberlangsungan budaya lokal yang merupakan salah satu asset terbesar dalam kehidupan kita, baik dalam kehidupan individu kita maupun dalam kehidupan bersosial, beragama, berbangsa, dan bernegara. Agar kata kemajuan bukanlah hanya sekedar pengiring lamunan….!!
Demikian tulisan ini dibuat dari saya, semoga dapat membuahkan kemaslahatan, keberkahan dan menambah kazanah keilmuwan kita menyangkut keberagaman masyarakat… Amiiiin.
0 Comments