Mural Vs Bendera Partai. Mana yang Lebih Pantas di Jalanan

 

Mural vs Bendera Partai

Mana yang Lebih Pantas di Jalanan

Rizky Ahmad Fahrezi


            “Urus saja moralmu, jangan urus muralku” Begitulah sepatah ungkapan yang menjadi desas-desus masyarakat akhir-akhir ini. Fenomena yang sangat ramai diperbincangkan seantero bangsa terkait penghapusan mural oleh aparat penegak hukum yang terjadi di sejumlah daerah. Banyak pihak yang mendukung penghapusan tersebut, akan tetapi lebih banyak lagi pihak yang mencekalnya dikarenakan kejadian seperti itu menjadi simbol semakin direpresinya kebebasan berpendapat rakyat. Ketika rakyat memiliki sejuta keluhan dan harapan yang kemudian dengan gampangnya dibabat habis oleh sejumlah pihak yang berkuasa. Ketika para pemuda yang tak pernah gentar melantangkan aspirasinya, menelusuri jalan-jalan keilmuwan untuk menyongsong peradaban bangsa, menciptakan ruang-ruang dialektika demi meluruskan segala bentuk penyelewengan, justru dilakban habis sampai tak pernah bersuara kembali. Belum lagi ketika sejumlah tangan-tangan kreatif yang menggoreskan kuasnya demi menciptakan karya-karya indah dan sarat akan pesan yang ditujukan semata-mata demi kemajuan bangsa,  kini diredam habis sampai seakan-akan merekalah yang menjadi penjahat negara. Kaum elite dan konglomerat bersuka-cita, menikmati keuntungan-keuntungan akibat tidak dilibatkannya rakyat dalam segala sistem kehidupan, memasang baliho-baliho tanpa peduli perasaan dan kebutuhan rakyat yang sesungguhnya, mengokohkan tiang bendera politik masing-masing di sepanjang jalan bukannya mengokohkan pancasila sila ke-5 yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” di sepanjang perjalanan kenegaraan. Benarkah semua itu yang kini terjadi? Benarkah ini yang dinamakan hukum cenderung tumpul kebawah? Let’s go to the main point.....

Apa itu mural? Mural merupakan karya seni lukis yang dituangkan pada media besar seperti dinding atau pagar tembok. Seni ini pada umumnya diciptakan untuk dilihat khalayak ramai dengan berbagai pesan yang disampaikan. Mural sebagai salah satu media para seniman dalam menyampaikan sejuta pesan maupun kritikan yang harus diketahui oleh masyarakat secara luas, bahkan mural sendiri berkedudukan sebagai sarana penyampaian aspirasi masyarakat yang dibingkai dalam balutan karya seni.

            Mural merupakan bentuk kesenian yang memiliki sejarah sangat panjang. Dalam perjalanannya, mural mengalami perkembangan dengan berbagai macam fenomena serta persoalan yang menyangkut berbagai aspek kehidupan. Sejak zaman prasejarah manusia telah mengenal mural dengan rupa yang sangat sederhana dengan coretan-coretan batu kapur, tulang-tulang, dan sari buah sebagai cat alami. Tema-tema yang digambarkan terkait keseharian manusia pada zaman itu, peristiwa besar yang pernah terjadi, hewan-hewan, bahkan ramalan tentang masa dengan. Perlu digaris bawahi mural manusia prasejarah tersebut akan menjadi pesan yang sangat penting bagi anak-anak cucu mereka kelak kemudian hari termasuk manusia modern sebagai sebuah landasan keilmuwan sains.  Dalam sejarah bangsa Indonesia, mural telah tampil sebagai salah satu media seni perlawanan rakyat kepada para penjajah yang isinya beragam bentuk kritikan dan kata-kata penentangan. Sejak periode revolusi bangsa rentang tahun 1945-1949, mural telah muncul pada sejumlah dinding dan gerbong kereta api yang bertuliskan “Merdeka Atoe Mati” sebagai simbol perlawanan akan kedatangan kembali pasukan NICA mengancam kemerdekaan Indonesia. Hingga masa oede baru mural melekat sebagai sebuah coretan dinding yanag menyiratkan berbagai kritikan kepada golongan penguasa. Seiring perkembangannya, pada era milenial ini mural tidak hanya terstempel sebagai sebuah karya seni kritik terhadap penguasa, tetapi lebih berwarna-warrni dan menjadi sebuah seni yang memiliki nilai jual tinggi, yang semula hanya didapati di dinding-dinding pinggir jalan kini dengan mudahnya kita dapat melihat mural di dinding kafe, restauran atau bahkan sekolah yang menjadikannya sebagai lomba kreatifitas siswa. Dari beberapa era mural tersebut yang perlu sekali disimpulkan bahwa dari masa ke masa mural memiliki peran yang sama yaitu sebagai karya seni yang menyimpan sejuta makna dan pesan yang ingin disampaikan.

            To the point...masuk dalam pembahasan terkait problema mural yang santer diperdebatkan akhir-akhir ini. Bukan bermaksud untuk menyudutkan salah satu pihak, hanya sebatas pantikan kecil bagi pemikiran-pemikiran yang bersedia mendahulukan analisa jernih untuk kemudian berperan bersama demi sebuah keemakmuran dan keseimbangan. Tak luput dari beragam perspektif, kebebasan berkerangka mindset merupakan sebuah kenyataan, akan tetapi kesadaran akan sebuah tatanan yang dirasa sudah tidak baik-baik saaja merupakan sebuah keniscayaan yang mutlak adanya harus dimiliki. Penyikapan terhadap feenomena yang seemakin mengkerdilkan keadilan merupakan  kewajiban mutlak seluruh warga negara tanpa memandang kepentingan apapun.

            Ramai diperbincangkan bahwa sebuah karya seni lukisan pinggir jalan yang dinilai berisi kritikan pedas terhadap Presiden langsung dihapus tanpa jejak oleh sejumlah aparat kepolisian. Berbagai argumenpun bermunculan, ada yang membenarkan tindakan aparat tersebut adapula yang menentangnya karena tindakan seperti itu sama sekali tidak mencerminkan demokrasi yang sesungguhnya. Terdapat tiga kasus penghapusan mural yang menjadi topik paling hangat dibicarakan manysrakat, kasus mural pertama yang dihapus terjadi pada bulan Juli 2021 di Jalan Aryawangsakara, Tigaraksa, Tangerang Banten, mural tersebut berbunyi “TUHAN AKU LAPAR”, seketika aparat mengetahui keberadaannya disaat itu pula tulisan tersebut lenyap tak tersisa. Kemudian kasus mural yang berbunyi “DIPAKSA SEHAT DI NEGARA YANG SAKIT” di dekat rel stasiun Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Terakhir mural yang menggambarkan wajah yang sekilas mirip Presiden Jokowi dan dilengkapi dengan tulisan “404: NOT FOUND” di Batuceper, Tangerang.

            Penghapusan-penghapusan mural tersebut merupakan simbol dibabat habisnya kebebasan rakyat dalam berekspresi. Sebuah alasan terlontar bahwa penghapusan tersebut dilandasi oleh peraturan mutlak dilarangnya perusakan suatu objek milik umum atau lingkungan yang biasa disebut sebagai vandalisme, maka dari itu aparat berhak menghapusnya tanpa memperhatikan pesan moral dan rintihan rakyat kecil yang tersirat didalamnya. Akan tetapi, apakah mural termasuk vandalisme? Akan terdapat banyak kejanggalan jika sebuah karya seni jalanan dilabel seperti itu. Sejatinya, para seniman merupakan salah satu aset besar yang dimiliki bangsa, dimana peran seniman tidak hanya sebatas pembuat karya-karya seni yang memanjakan mata tetapi jauh lebih dari itu mereka juga mengekspresikan perasaan  mendalam terkait kondisi rakyat dan bangsanya. Seniman merupakan salah satu garda terdepan dalam menunjukkan kepekaan terhadap situasi rakyat maupun negara yang sedang tidak baik-baik saja. Ketika para seniman telah menggoreskan karya seninya dengan menyiratkan beragam keluh kesah dan kritikan , maka dapat dipastikan terdapat  sebuah sistem yang terlalu kotor dan busuk, ibarat sebuh bahtera yang telah menunjukkan tanda-tanda akan tenggelam maka sirinenya pun akan berbunyi untuk memperingatkan. Namun, kali ini sirine yang seharusnya terbunyikan dengan lantang seakan dibungkam oleh pihak-pihak kolot yang tak sadar bahwa keadaan bahteranya yang mulai tenggelam.

            Mural sejauh ini telah mewarnai setiap perjalanan kita dengan keestetikan kombinasi seninya, apalagi ketika mural tersebut memiliki makna yang dalam dan berhubungan erat dengan kondisi terkini, betapa mahalnya karya tersebut, betapa jenius sang pembuatnya. Namun, seiring berjalannya waktu goresan-goresan jenius para senimman dinding tersebut kian menghilang dan tergantikan oleh pernak-pernik politik yang menghiasi sepanjang jalan, bendera partai dan baliho kampanya, itulah wujudnya. Apakah itu juga termasuk seni? Mural dan atribut politik di jalan, lebih berharga mana?.

Mari kita kerucutkan permasalahan ini bersama, melihat konteks tujuan dari kedua titik pembahasan tersebut. Rakyat merupakan pemegang kekuasaan dan wewenang tertinggi dalam sebuaha bangsa yang berdemokrasi, rakyat berhak menyuarakan seluruh aspirasi dan pendapatnya dimaanapun dan kapanpun asalkan mematuhi tata norma dan peraturan yaang berlaku, ketika suara-suara tersebut telah dibatasi dan bahkan dihabisi maka arti demokrasi mana yang selama ini dibangun mati-matian. Dikala kritik tersampaikan lewat aksi turun jalan oleh sejumlah rakyat dan mahasiswa, ternyata diujung jalan telah berdiri tegap aparat yang siap merepresi dan menangkap wakil-wakil suara rakyat tersebut. Dikala kritik tersampaikan lewat media-media sosial, maka UU ITE siap memburu dengan pasal-pasal karet yang menjerat seluruh lapisan masyarakat. Yang terbaru, kini kritik disampaikan oleh seniman lewat karya seni bernilai tinggi dan sarat akan makna edukasi justru diburu layaknya teroris yang membahayakan kedaulatan bangsa. Semua kritik tersebut adalah bentuk dari demokrasi yang sesungguhnya, percaya atau tidak bahwa kritik akan sistem pemerintahan merupakan check off balance bagi negara, yaitu sebuah sistem kontrol terhadap pemerintahan agar negara tidak semakin terjerumus kedalam polemik-polemik politik yang tak akan pernah ada habisnya. Ketika sebuah negara dirasa sudah cukup dikendalikan oleh deretan pemangku kekuasaan didalam istana tanpa membutuhkan rakyat sipil sebagai pengoreksi atau agen keseimbangan di dalamnya, maka niscaya negara tersebut bukanlah negara demokrasi yang sesungguhnya dan siap saja terombang-ambingkan oleh terpaan beragam polemik kedepannya. Karena kekuasaan tanpa keseimbangan, ibarat menara yang menjulang tanpa tiang-tiang kuat yang menyangga, dan niscaya akan rubuh suatu saat.

Pernak-pernik partai politik yang terpasang di seluruh penjuru bangsa, tak lain hanya demi kepentingan golongan saja, benarkah itu?. Ketika baliho dan bendera partai politik terpasang di pinggir jalan, hal itu menandakan bahwa negara segera akan menghadapi polemik kontestasi antar golongan. Lalu apakah bangsa kita adalah bangsa kontestasi bukannya demokrasi?. That’s the point....

Dewasa ini, partai-partai politik kian mengepakkan sayapnya guna mengambil hati rakyat dan seketika itu mereka berlomba-lomba untuk memenangkan perhelatan akbar kompetisi liga domestik perpolitikan negara. Bisa kitta lihat, partai-partai politik yang berlomba menggemukkan koalisinya demi menambah power dalam menancapkan pengaruh politik mereka, ketika sebuah golongan penguasa semakin gemuk diiringi dengan kebijakan-kebijakan yang membatasi rakyatnya, maka ketakutan-ketakutan juga kian semakin merajalela menjadi pola pikir rakyat. Apabila negara dikendalikan oleh sistem yang menciptakan ketakutan maka disitu keadilan patur dipertanyakan. Partai politik yang seharusnya berperan dalam memberikan edukasi politik kepada rakyat justru menciptakan ajang kontestasi dan meninggalkan moral publik untuk sebuah kekuasaan.

Baliho, bendera, dan segala atribut politik di jalanan merupakan salah saru media yang digunakan untuk event besar para penguasa. Tujuan dipasangnya atribut-atribut tersebut adalah untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas golongan maupun pimpinan kepentingan politik tersebut.  Baliho dan bendera sebagai strategi penetrasi daalam meingkatkan elektabilitas yang ditujukan kepada masyarakat tradisional dan kudet, dan pada faktanya mayoritas masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang tradisional, atau masyarakat yang kurang memiliki kepekaan kritis dalam menyikapi sebuah fenomena. Baliho dan bendera memaksa sejumlah orang untuk melihatnya, berbeda dengan mural yang bisa sewaktu-waktu dihapus oleh sejumlah pihak, baliho seakan bersifat paten dan permanen tergantung pemiliknya yang berhak menghapusnya....eits pemiliknya penguasa bro. Sebuah keadaan dimana masyarakat dipaksa untuk melihat dan dengan gampang mengenali atribut-atribut politik tersebut dinamakan Brand awareness, ketika keadaan itu terpampang nyata dijalanan maka tidak ada pilihan lain bagi masyarakat untuk melihatnya, sesuatu yang dipaksakan untuk menjadi konsumsi publik dan mengesampingkan nilai positif maupun negatif didalamnya.

Kesimpulan terakhir yang bisa kita ambil adalah mural merupakan bentuk karya seni yang memberikan sejuta pesan dan aspirasi rakyat tentang keeadaan negara, sedangkat atribut politik seperti baliho dan bendera merupakan bentuk seni dalam berkontestasi yang bertujuan untuk menyampaikan kepentingan-kepentingan golongan penguasa. Negarawan, seniman dan rakyat menyampaikan suara aspirasi mereka semata-mata bertujuan untuk mememikirkan bagaimana nasib negara beberapa tahun kedepan, sedangkan politisi menuangkan anggaran besar-besaran untuk menancapkan pernak-pernik politik di sana-sini, hanya bermaksut untuk memikirkan bagaimana nasib pemilu 5 tahun kedepan.

So...apakah semua pembahasan diatas dapat dibenarkan? Siapa yang disalahkan? Antara mural dan bendera partai, mana yang lebih pantas dan berharga dijalanan? Mana yang memiliki dignity dan mana yang hanya sekedar kebusukan belaka?. Tentunya bukan kapasitas penulis untuk memberikan truth decision. Pendapat dan perspektif ada pada pemikiraan dan penafsiran saudara semua. Tetap semangat......Wish You Victory !!

            Mengutip dari lirik lagu Iwan Flas yang berjudul "coretan dinding" :

“Coretan dinding membuat resah, resah hati pencoret mungkin ingin tampil. Tapi lebih resah pembaca coretannya. Sebab coretan dinding adalah pemberontakan kucing hitam yang terpojok di tiap tempat sampah di tiap Kota. Cakarnya siap dengan kuku-kuku tajam, matanya menyala mengawasi gerak musuhnya, musuhnya adalah penindas. Penindas yang pemberontak, yang mengganggap coretan dinding adala bentuk kejahatan....”

Post a Comment

0 Comments