PENDIDIKAN
MODERASI DALAM ARUS DIGITALISASI
Mainstreaming
Moderasi dalam Menyikapi Lajur Perkembangan New
Media
Rizky Ahmad Fahrezi
Bicara tentang dunia Pendidikan
memang tidak akan ada habisnya, sektor yang memang salalu ada bahasan dan
diskursus penting di dalamnya. Pendidikan merupakan salah satu lini penting
dalam perjalanan dinamika kehidupan, selalu ada saja topik bahkan intrik yang
mengiringi pelaksanaanya, dan hal tersebut harus menjadi prioritas utama bagi
segenap elemen kemasyarakatan untuk menyukseskannya, tatanan peradaban tidak
bisa dianggap baik-baik saja apabila isu-isu pendidikan tidak ditanggapi dengan
seksama atau dinomor duakan dari priotitas utama. Pendidikan berkontribusi
besar bagi segala aspek kehidupan generasi suatu peradaban, pendidikan
memberikan stimulus positif berupa penetahuan, budi pekerti, ketrampilan dan
pengalaman kepada seseorang yang dididik. Pendidikan berkedudukan sebagai salah
satu tempat utama seorang individu mendapatkan segala sumber pengetahuan dan
jati dirinya sebagai makhluk yang memenuhi fitrahnya. Pendidikan megambil peran
dalam menentukan arah perkembangan kebudayaan, pemikian, orientasi kehidupan,
ekonomi kesejahteraan, kekuasaan bahkan keagamaan. Dengan sebegitu besar
kedudukan pendidikan, maka segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan
merupakan impact dari penerapan
sistem dan pengelolaan pendidikan di sebuah peradaban.
Pendidikan juga
merupakan sebuah aktifitas yang memiliki maksud atau tujuan tertentu yang
diarahkan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki manusia baik sebagai
manusia ataupun sebagai masyarakat dengan sepenuhnya. Tujuan pendidikan nasional seperti yang
telah termaktub dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 yaitu “ Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”. Kata “mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan domain utama dalam
penyelenggaraan pendidika Indonesia, sehingga
segala usaha dan upaya dilakukan demi menciptakan generasi bangsa yang
kompeten, bermutu, dan cerdas dalam berbagai bidang, serta mampu melebur dengan
arus perkembangan peradaban. Tapi tidak hanya mumpuni dalam pengetahuan,
pendidikan juga memiliki tujuan untuk menciptakan generasi yang memiliki budi
pakerti yang luhur, berakhlakul kharimah, memiliki kecerdasan spiritual tinggi,
dan memiliki ketrampilan unggul. Oleh karena itu, kompetensi pendidikan bukan
hanya berfokus pada domain kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik
peserta didik.
Pengelolaan
pendidikan pada nyatanya sering terpeleset atau bahkan terbelokkan dari tujuan
utama penyelenggaraannya. Banyak hambatan dan tantangan ditemui di lapangan,
permasalahan pendidikan menjadi poin terpenting untuk segala diprioritaskan
penyelesaiannya, namun sayangnya kondisi pengelolaan berkata lain, pendidikan
justru seakan mejadi sektor yang dinomor duakan, orientasi masyarakat cenderung
mengarah dalam hal perekonomian dan pola masyarakat yang cenderung
materialistis, bisa kita lihat bagaimana pendidikan Indonesia bisa dikatakan
sedikit tertinggal dengan negara-negara lain dari segi penguasaan teknologi dan
ketersediaan sumber daya manusia. Semua orang tau pentingnya pendidikan, tetapi
tidak semua orang memiliki komitmen yang
sama untuk memajukan pendidikan. Belum lagi kesenjangan pendidikan yang masih
sering dirasakan oleh wilayah-wilayah tertentu, ketidak merataan sarana dan
prasarana penunjang pendidikan menjadi belenggu tersendiri bagi kemajuan
peradaban di wilayah-wilayah yang belum terjangkau maksimal. Apalagi mengingat
negara kita adalah negara yang majemuk dengan berdiri diatas ribuan
keberagaman, maka sistem pendidikan dituntut untuk bisa menempatkan diri di
segala bentuk kultur, tradisi, pola pikir, kebiasaan, dan orientasi masyarakat
dari Sabang sampai Merauke.
Indonesia adalah negara yang memiliki
berbagai ragam budaya dan adat istiadat yang melekat dengan ragam etnis, ras
budaya serta agama yang majemuk. Sehingga diperlukan suatu pendidikan
multikultural, yaitu pendidikan yang menghargai perbedaan, agar tidak menjadi
sumber konflik dan perpecahan. Sikap saling toleransi ini yang akan menjadikan
keberagaman yang dinamis, kekayaan budaya yang menjadi jati diri bangsa yang
patut untuk dilestarikan. Dalam pendidikan multikultural, setiap peradaban dan
kebudayaan berada dalam posisi yang sejajar dan sama. Salah satu tujuan penting
dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu peserta didik agar
memperoleh pengetahuan, dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan
nilai kepribadian. Pendidikan multikultural mempunyai empat nilai yaitu: Nilai
Kesetaraan, Nilai Toleransi, Nilai demokrasi, dan Nilai Pluralisme.
Prinsip yang berusaha diajarkan dalam pendidikan multikultural
adalah saling menghargai dan kesetaraan di setiap peradaban, sehingga
masyarakat Indonesia yang secara kental telah memiliki akar budaya masing-masing
diharap selalu tenggang rasa tanpa mengunggulkan budaya dan tradisi tertentu.
Pendidikan bercorak multikultural sudah seharusnya menjadi orientasi utama
masyarakat dalam menggaungkan sektor pendidikan, masyarakat secara luas
berkontribusi untuk memberikan edukasi terkait pentingnya kebersamaan dan
toleransi untuk membendung paradigma egosentris dan etnosentris yang dirasa
selalu menjadi intrik tersendiri dalam keberagaman bangsa.
Fenomena pembenaran akan jalan pikiran dan faham sendiri dengan
menyalahkan faham lain masih menjadi permasalahan besar dalam kasus keseharian
masyarakat Indonesia. Fenomena truth claim
atau klaim kebenaran akan golongan tertentu dan menyalahkan golongan lain masih
sangat sering ditemui. Sebuah klaim kebenaran muncul dari gesekan dan benturan
antar tradisi, ritual budaya, dan kegiatan beragama. Hal tersebut tersebut
secara nyata dapat menimbulkan sebuah konflik yang berkepanjangan, terlebih
apabila menyinggung persoalan beragama yang seperti tiada habisnya, seperti
contoh kasus penolakan pembangunan rumah ibadah karena latar perbedaan agama,
penolakan terhadap pemimpin urusan publik yang berbeda agama dari tingkat
nasional hingga tingkat rukun tetangga, dan atas nama jihad kemudian
mengkafirkan orang lain yang dianggap tidak sepemikiran. Kasus-kasus seperti
ini dapat menimbulkan perpecahan yang lebih besar bahkan menelan korban, dengan
itu tentunya masyarakat harus faham dan sadar akan bahayanya sikap intoleransi
antar umat beragama yang secara perlahan dapat menggerogoti jati diri bangsa
dan memendam cita-cita persatuan dengan melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia yang senasib dan sepenanggungan dalam bingkai NKRI.
Kebebasan berfaham dan menguatkan fahamnya adalah bagian dari hak
dan kebebasan seluruh lapisan masyarakat, tetapi faham tersebut harus dapat
disesuaikan dengan keberagaman yang juga menghiasi seluruh lapisan masyarakat
Oleh karena itu, sebagai masyarakat yang cerdas harus bersikap bijaksana dan
berfikir moderat di setiap permasalahan yang menyinggung perbedaan pendapat,
tidak seharusnya membendung kebebasan berfaham dan tidak juga membiarkan sebuah
faham yang cenderung ekstrim berkembang. Dalam kasus kehidupan beragama sering
ditemui gesekan faham antar golongan umat beragama, mulai dari perbedaan pola
fikir, perbedaan dasar hukum, perbedaan pelaksanaan ibadah, hingga perbedaan
kepentingan. Persoalan agama sangatlah sensitif apabila di singgung terlalu
jauh, sehingga sedikit saja gesekan yang didasari oleh perbedaan akan
menyebabkan perpecahan berkepanjangan, apalagi muncul beragam golongan
ekstrimis dan radikalis yang menyebarkan dogma sepihak dengan menyalahkan faham
keagamaan lain tapa terkecuali, solusi paling ideal untuk ditanamkan dan
menjadi dasar penyikapan terkait konflik beragama adalah solusi beragama jalan
tengah (moderasi).
Indonesia adalah negara yang sangat majemuk, keberagaman bisa
ditemui hampir di segala lini kehidupan, apalagi menyangkut faham dan pemikiran
beragama, nyaris tidak ada satupun aktivitas yang lepas dari agama, itulah mengapa
kemerdekaan beragamma juga dijamin oleh konstitusi negara. Tugas kita sebagai
warga negara yang cerdas adalah menjaga keseimbangan kebebasan beragama dengan
komitmen kebangsaan untuk mewujudkan cita-cita tanah air. Konsep keseimbangan
kebebasan beragama tertuang dalam prinsip moderasi beragama. Prof. Dr. Oman
Fathurahman, M. Hum. selaku ketua kelompok kerja moderasi beragama Kementerian
Agama RI menyatakan bahwa moderasi beragama adalah cara pandang dan sikap
praktik beragama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang
melindungi martabat kemanusiaan, dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan
prinsip adil, berimbang dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.
Kata moderasi merupakan lawan dari kata Tataruf, Al-Gulluw, atau Tasyaddud yang
memiliki makna ekstrim, sebuah fenomena bisa dikatakan esktrim apabila
melampaui batas ketentuan syariat agama. Sebuah fenomena dikatakan ekstrim
apabila ditemui beberapa batasan yaitu :
1.
Atas nama agama seseorang
melanggar nilai-nilai luhur dan harkat mulia kemanusiaan, karena sejatinya agama
menjunjung tinggi kemuliaan.
2.
Atas nama agama melanggar
kesepakatan bersama yang dimaksudkan untuk kemaslahatan umum.
3.
Atas nama agama melanggar
hukum-hukum yang berlaku.
Ketiga batasan tersebut menjadi indikator ketentuan aktivitas
publik bisa disebut sebuah hal yang esktrim. Dari ketiga batasan tersebut, bisa
disimpulkan bahwa pada hakikatnya semua agama mengajarkan ajaran yang mulia
dengan menjunjung tinggi kemanusiaan dan kemaslahatan bersama, oleh karena itu kemuliaan agama tidak bisa
ditegakkan dengan cara merendahkan harkat martabat kemanusiaan dan bertentangan
dengan kemaslahatan.
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan peradaban Indonesia,
golongan muda senantiasa menjadi elemen penting yang menentukan arah sebuah
filosofi dan orientasi peradaban ditujukan. Kalangan muda menjadi decision maker terhadap segala seuatu
yang terjadi kedepannya, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi kepentingan
secara luas. Kalangan muda juga sangat erat kaitannya dengan problematika
keberagaman Indonesia yang belum bisa terbingkai menjadi satu-kesatuan utuh.
Kalangan muda menjadi salah satu pilar utama tegaknya sebuah ideologi dan
militansi kesuburan perkembangan sebuah faham. Tidak sedikit kalangan muda yang
aktif ikut serta dalam kampanye penguatan faham keagamaan golongan-golongan
tertentu, bahkan menjadi bidak utama dalam mengeksekusi segala cara untuk
memenangkan fahamnya. Sebuah kekhawatiran nyata apabila kalangan muda dengan
jiwa militansinya yang meledak-meledak menjadi korban bahkan pelaku utama dari
faham radikalisme dan ekstrimise.
Intoleransi keagamaan dikalangan anak muda menjadi sebuah hal yang
sangat sering dijumpai, ajaran
radikalisme sangat gampang diserap oleh anak muda melalui media-media
digital. Tidak dapat dipungkiri perkembangan peradaban mejadi semakin modern
dengan segala kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi-teknologi terkini untuk
menunjang kehidupan. Kemajuan teknologi digital menjadi warna tersendiri dalam
mengirigi perkembangan peradaban, teknologi digital adalah salah satu instrumen
kehidupan yang tidak dapat dibendung perkembangnnya, segala bentuk aktivitas
manusia telah teralihkan kedalam media-media digital yang semakin berjalannya
waktu menjadi kebutuhan pokok bagi seluruh manusia, itulah yang diistilahkan
dengan digitalisasi. Digitalisasi adalah peralihan pemanfaatan teknologi
berbasis digital untuk digunakan hampir pada setiap aspek kehidupan agar masyarakat bisa dengan mudah
dan cepat untuk mendapatkan informasi lewat akses internet. Digitalisasi
memberikan impact yang sangat
signifikan terhadap perkembangan peradaban manusia, memberikan beragam
kemudahan dan kecepatan bagi aktivitas keseharian. Tetapi, kemudahan komunikasi
dan informasi yang tanpa terkendali dapat menyebabkan masyarakat sangat mudah
untuk tergiring oleh opini-opini buruk, dan kecenderungan untuk meng-amini
segala sesuatu yang disuguhkan di media-media digital (post truth).
Perkembangn arus media internet membuka banyak celah bagi masuknya
berbagai faham intoleransi dan radikal. Berbagai tipologi keagamaan muncul
memperebutkan eksistensi masing-masing, diantaranya adalah faham liberal,
konservatif, islamis, radikal dan moderat. Media sosial atau berbagai situs
seperti website dan blog, dianggap objek paling tepat untuk mengemukakan
berbagai pandangan keagamaan. Setiap kelompok agama mampu untuk meretas,
mempublikasikan, dan mengendalikan model keagaman yang diyakini untuk
disebarkan ke khalayak luas, karena bisa dikatakan bidang kajian agama sendiri
merupakan area kompetitif bagi setiap kelompok keagamaan. Oleh karena itu, tak
heran jika beberapa kelompok radikal mengklaim kebenaran (truth claim) tunggal yang kemudian cenderung menganggap sesat
kelompok lain yang tidak sepemahaman. Dalam perkembangan media terkini, beragam
faham konservatif menjamur dan menyuburkan diri dengan akses berbagai paltform
digital yang tersedia di zaman ini, sebut saja berbagai media sosial seperti Youtube, Facebook, Whatsapp, Twitter, dan
Instagram menjadi ajang perjumpaan seluruh masyarakat secara global.
Media-media tersebut beserta berbagai portal keislaman berupa websyte menyuguhkan narasi-narasi
keagamaan yang tidak terhitung jumlahnya, berbagai ajaran berusaha mengakses
media-media tersebut sebagai wadah syiar dan penyebaran faham mereka masing-masing,
tak terkecuali ajaran yang cenderung konservatif dan radikalis.
Keterbukaan media tersebut menjadi pintu tersendiri bagi anak muda
dalam menimba informasi bahkan menjadi wadah tersendiri untuk menemukan
pembelajaran jati diri. Media keagamaan konservatif menjadi salah satu portal
yang sering diakses kalangan muda masa kini, fenomena seperti ini menjadi salah
satu sebab utama suburnya beragam faham konservatif yang mengarah pada
ekstrimisme dan radikalisme di kalangan anak muda, serta pada ujungnya dapat
memunculkan benih-benih terorisme. Kalangan muda merupakan golongan paling
rentan dimasuki berbagai faham yang mengarah pada kegiatan terorisme, tidak
sedikit kasus bom bunuh diri dilakukan oleh pelajar. Yang menjadi sangat riskan
adalah ditemuinya banyak kasus dimana anak muda menjadi pelaku terorisme atas
dasar keinginan dan pemahamannya sendiri tanpa ada doktrinisasi dari pihak
tertentu (Understanding lone wolf).
Istilah lone wolf disematkan pada seseorang yang belajar dan
manafsirkan apa yang ia pelajari secara individu, kemudian mengaplikasikan apa
yang ia fahami secara otodidak. Saat ini term ‘lone wolf’ menjadi
popular di berbagai negara terutama kaitannya dengan isu terorisme dan tentu
saja media sangat punya pengaruh besar untuk menyebarluaskan term tersebut. Beberapa
indikasi ‘lone wolf’ dapat di tandai dengan tiga hal sebagaimana
disebutkan oleh Spaaij dalam bukunya yang berjudul “Understanding Lone Wolf
Terorism” yaitu : (a) Beroperasi secara individual, (b) Tidak
terkait dengan sebuah organisasi teroris atau jaringan tertentu, dan (c) Modus
operasi dilakukan secara langsung, secara otodidak, dan tanpa komando atau hirarki. Istilah
lone wolf merupakan perkara baru yang menjadi salah
satu impact dari keterbukaan
informasi media dan ketidak mampuan pendidikan dalam mengawal perkembangan
anak. Faktor penyebab kasus lone wolf
ini semakin menjamur tak lain karena
ketergantungan anak muda terhadap segala sesuatu yang sisuguhkan oleh media
digital khususnya terkait informasi keagamaan, anak cenderung meng-iyakan
segala sesuatu tanpa proses filterisasi, dan ketika anak muda memperlajari
faham-faham radikalis mereka menjadi terobsesi dan kemudian mengeksekusinya.
Krisis identitas juga menjadi penyebab utama anak muda menjadi lone wolf, anak muda yang masih bingung
menemukan jati dirinya cenderung menjadikan tafsir otodidaknya menjadi acuan
utama orientasi pemikirannya. Kemudian salah satu faktor penyebab paling fital
yaitu kurangnya kontrol dari sekolah maupaun keluarga, kurangnya penanaman keagamaan,
pendidikan karakter dan prinsip kemanusiaan di lingkungan sekolah menjadikan
anak muda memilih jalan sendiri dalam menafsisi berbagai muatan ajaran yang
dipelajari, keluarga dan lingkungan sekitar juga memegang peranan besar sebagai
controlling system terdekat dalam
mengendalikan apapun yang dikonsumsi oleh anak musa, kurangnya pendekatan dan
pantauan dari pihak keluarga menjadikan anak semakin candu akan media, hal ini
menyebabkan anak muda mejadi figur yang introvert
terhadap lingkungannya sehingga apa yang dia pelajari hanya ditafsiri oleh perspektifnya
sendiri, belum sempat di diskusikan dengan perspektif orang lain.
Kembali
lagi pada topik moderasi beragama, krisis faham dan pemikiran masyarakat
khususnya kalangan muda terkait ajaran keagamaan menjadi problema tersendiri
yang harus ditanggulangi dengan penanaman muatan-muatan pemikiran moderat dalam
berbagai rutinitas masyarakat. Sebagai masyarakat yang cerdas, kita harus
berupaya untuk menagakkan tonggak-tonggak kemaslahatan dalam setiap praktek
kehidupan, memanfaatkan segala sarana sebagai wadah untuk mensyiarkan kebaikan
dan keseimbangan antar perilaku beragama. Kita patut sadar bahwa pandangan
konservatif semakin merajalela, dan pada akhirnya memunculkan beragam klaim
kebenaran tunggal yang mengarah pada faham radikalisme. Perkembangan pesat
faham tersebut padaera modern ini dikendarai oleh beragam portal-portal media
sosial. Media sosial merupakan ruang digitak yang menjadi cara paling ampuh
dalam menyebarluaskan berbagai faham pada era sekarang, hal ini dikarenakan
seluruh lapisan masyarakat dapat menginterpretasikan faham agamanya di ruang
digital, segala yang bersumber dari
ruang digitlal menjai trend pola pikir baru masyarakat masa kini, sehingga
faham radikal yang dalam proses penyebarannya cenderung cepat dan menakan
menjadi mudah sekali di amini oleh masyarakat. Berdasar dari survei yang
dilakukan oleh PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) menyatakan bahwa
media internet memiliki pengaruh besar terhadap kecenderungan radikalisme dan
intoleransi generasi masa kini.
Kepopuleran
media sosial menggeser otoritas keagamaan tradisional yang dimotori oleh
pendidikan pesantren dan Kyai, menjadikan faham keagamaan modern berbasis media
menjadi sangat populer, media sosial seakan memenuhi kebutuhan masyarakat akan
segala informasi, pengetahuan, dan sumber faham keagamaan (post truth). Fenomena post
truth ini berkembang karena kekuatan fundamentalisme populer yang
berkelanjutan tanpa diiringi dengan kekuatan peran akal masyarakat saat ini
dalam menyaring segala sumber informasi. Kurangnya budaya kritis dan banding
antara perspektif satu dengan perspektif lain, antara narasi satu dengan narasi
lain, merupakan kelemahan masyarakat saat ini, hal ini menjadikan orientasi paradigma
narasi digital mampu menciptakan opini dari masyarakat dan menjadikan realitas
fakta tidak lagi mejadi kriteria dalam mencari kebenaran. Cara meminimalisir
dan membendung pola pikir masyarakat yang dikawatirkan tergiring oleh ajaran
radikal adalah dengan membanjiri media
dengan konten yang damai dan tenggang rasa antar umat beragama. Gus Dur pernah
berkata bahwa “Persaudaraan manusia meski berbeda agama menjadi pilar
perdamaian”.
Mainstreaming moderasi beragama
merupakan kegiatan yang harus digalakkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Mainstreaming ini dapat dilakukan
melalui konten media sosial seperti narasi berupa artikel lewat portal-portak
media digital. New media adalah platform
yang sangat interaktif dengan networking dan
komunikasi tanpa batas, Indonesia memiliki jumlah pengguna internet mencapai
202,6 juta jiwa atau 73, 7 % dari total penduduk. New media memberikan implikasi cukup besar pada aspek pemikiran,
fatwa, keberagaman yang terjalin atas dasar norma agama. Mainstreaming moderasi beragama menjadi suatu keharusan bagi kita
sebagai masyarakat yang cerdas dan menjunjung tinggi perdamaian, kontribusi
kita sebagai generasi muda khususnya adalah dengan membanjiri berbagai platform-platform digital dengan konten-konten edukasi moderasi
beragam dengan mengusung arah pemikiran yang damai dan mementingkan
kemaslahatan umum. Menyadari bahwa perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi digital bukan hal yang hanya untuk didiamkan dan dinikmati, tetapi
juga disikapi dengan cerdas demi tatanan kehidupan yang dinamis dan stabil. Menyadari
betapa pentingnya penguasaan kecerdasan teknologi sehingga tidak tergeser oleh
teknologi itu sendiri, memahami bahwa arus new
media merupakan lahan yang sangat basah guna menanam berbagai kemaslahatan
dan mau berupaya untuk selalu mengisinya dengan konten-konten positif.
New media menjadi salah satu pilar
peradaban yang tidak cukup untuk dilihat saja, kita patut mengetahui bahwa new media bersifat ekspresif dan agresif
yang telah menciptakan konstelasi dan komposisi baru yang memberikan dampak
secara fundamental merubah pola konvensional kehidupan masyarakat, dengan new media sejumlah oknum secara mudah
dapat menggeser berbagai otoritas klasik dan menggantinya dengan otoritas
moder, memungkinkan terjadinya pelepasan otoritas keagamaan tradisional menjadi
faham-faham baru yang perlu untuk difilterisasi bahkan dibendung.
Kita patut berupaya untuk
menjadikan pemikian moderasi sebagai keyword
baru pada peradaban ini, membanjiri konten moderaasi beragama di berbagai kanal
digital, menjadikan portal-portal digital sebagai penguat faham moderat. Lewat new media, kontestasi ideologi akan
sangat mudah disebarkan dengan biaya yang murah, maka dapat dipastikan media
digital akan menjadi lahan perebutan publik untuk menarasikan berbagai faham
dan mempengaruhi realitas-realitas nyata agar sesuai dengan maksut dan
tujuannya. Dari situ, maka kita sebagai kalangan muda sebagai generasi pelaku
utama dalam peradaban digital turut ikut
serta dalam menggaungkan moderasi beragama, menempatkan posisi sebagai agent of balance yang sesungguhnya,
menuangkan berbagai karya di media digital untuk mencerdaskan masyarakat dan
menjaga kemuliaan berdasarkan prinsip kemanusiaan yang berdabab dan adil . Moderasi
beragama hanya dapat ditegakkan dengan tiga aspek yaitu ilmu, kebajikan, dan
keseimbangan. Dengan itu, kalangan muda harus senantiasa memperkaya wawasannya
di berbagai disiplin ilmu, selalu mengamalkan hal-hal yang bijak, dan menjadi figur yang seadil mungkin dalam
memposisikan diri diberbagai situasi dan kondisi. Menguatkan faham bahwa
prinsip moderasi merupakan praktik kehidupan yang paling seimbang dan setara (middle way), sehingga kemajemukan
kultur bangsa Indonesia dapat terbingkai secara utuh untuk mewujudkan persatuan
Indonesia. Dengan keberagaman yang ada, justru menjadikan bangsa ini semakin
kokoh dan berdiri diatas berbagai supply
power di segala lini.
Peran pendidikan juga
sangat besar dalam penguatan prinsip moderasi beragama. Penanaman militansi
pemikiran peserta didik untuk menjadi figur yang moderat perlu ditekankan
sedini mungkin lewat beragam fitur yang sesuai dengan jenjang masing-masing. Pendidikan
Indonesia perlu mendesain materi dan metode deradikalisasi yang relevan dengan
karakteristik psikologis anak, menerapkan progam yang relevan, inovatif, dan inspiring. Masyarakat juga perlu
memfokuskan titik sasaran kepada generasi-generasi muda sebagai obyek prigam
deradikalisasi, karena kebanyakan progam deradikalisasi selama ini hanya
menyentuh ormas, jumlaahh anak muda yang tidak terlibat dalam progam
deradikalisasi jauh lebih banyak. Sebagai anak muda, kita juga harus sadar akan
bahayanya dislokasi dan deprivasi, mejadikan diri sebagai individu yang terbuka
dengan berbagai masukan dari perspektif orang lain, menjadikan diri sebagai
individu yang komunikatif agar pemahaman kita tidak merujuk pada penafsiran
buta yang mengarah pada kasus lone wolf.
Disamping itu, selalu berupaya untuk berperan sebagai main actor dalam berbagai kegiatan untuk kemaslahatan, ikut serta
mengedukasi masyarakat secara luas terkait segala sesuatu yang masih menjadi kelemahan tersendiri masyarakat Indonesia
terkhusus pemahaman masyarakat terkait narasi media digital, menanamkan opini
masyarakat untuk selalu berfikir moderat dalam situasi apapun. The fate of Nation in your hands...Wish You
Victory...!
SOURCE :
Amin, Muh. 2018. “Pendidikan Multi Kultural”. JURNAL PILAR
Volume 09, No. Makassar: Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Aziizu, Burhan Yusuf Abdul. “Tujuan Besar Pendidikan Adalah Tindakan” PROSIDING KS: RISET & PKM, Volume 2,
Nomor 2.
Haryani, Elma. 2020. “Pendidikan
Moderasi Beragama Untuk Generasi Milenia: Studi Kasus ‘Lone Wolf’ Pada
Anak Di Medan”. EDUKASI: Jurnal
Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan. Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Hefni, Wildani. 2020. “Moderasi Beragama dalam Ruang Digital: Studi
Pengarusutamaan Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri”
Jurnal Bimas Islam Vol 13 No. 1. Jember:
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember.
Kementerian
Agama RI. 2019. “Tanya Jawab Moderasi
Beragama”. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Gedung
Kementerian Agama RI.
Nasution, Efrizal. 2014. ”Problematika Pendidikan di Indonesia”. Jurnal Fakultas Ushuluddin Dan Dakwah. Ambon:
IAIN Ambon
Nisok, Siti Roisadul. 2021. “Mainstreaming
Moderasi Beragama Di Ruang
Digital: Telaah Atas Portal Keislaman Islami.Co Perspektif Rasionalitas
Komunikatif Jürgen Habermas”.
Skripsi. Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel.
Nurkholis. 2013. “Pendidikan Dalam Upaya Memajukan Teknologi”. Jurnal Kependidikan, Vol. 1 No. 1. Purwokerto: STAIN Purwokerto.
Wuryanta. AG. Eka Wenats. “Digitalisasi
Masyarakat: Menilik Kekuatan dan Kelemahan Dinamika Era Informasi Digital dan
Masyarakat Informasi”. Jurnal Ilmu
Komunikasi, Volume 1, Nomor 2.
0 Comments