PENDIDIKAN MODERASI DALAM ARUS DIGITALISASI. Mainstreaming Moderasi dalam Menyikapi Lajur Perkembangan New Media

 

PENDIDIKAN MODERASI DALAM ARUS DIGITALISASI

Mainstreaming Moderasi dalam Menyikapi Lajur Perkembangan New Media

Rizky Ahmad Fahrezi

source: https://www.logique.co.id/blog/2018/02/22/pemasaran-menggunakan-media-digital/

            Bicara tentang dunia Pendidikan memang tidak akan ada habisnya, sektor yang memang salalu ada bahasan dan diskursus penting di dalamnya. Pendidikan merupakan salah satu lini penting dalam perjalanan dinamika kehidupan, selalu ada saja topik bahkan intrik yang mengiringi pelaksanaanya, dan hal tersebut harus menjadi prioritas utama bagi segenap elemen kemasyarakatan untuk menyukseskannya, tatanan peradaban tidak bisa dianggap baik-baik saja apabila isu-isu pendidikan tidak ditanggapi dengan seksama atau dinomor duakan dari priotitas utama. Pendidikan berkontribusi besar bagi segala aspek kehidupan generasi suatu peradaban, pendidikan memberikan stimulus positif berupa penetahuan, budi pekerti, ketrampilan dan pengalaman kepada seseorang yang dididik. Pendidikan berkedudukan sebagai salah satu tempat utama seorang individu mendapatkan segala sumber pengetahuan dan jati dirinya sebagai makhluk yang memenuhi fitrahnya. Pendidikan megambil peran dalam menentukan arah perkembangan kebudayaan, pemikian, orientasi kehidupan, ekonomi kesejahteraan, kekuasaan bahkan keagamaan. Dengan sebegitu besar kedudukan pendidikan, maka segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan merupakan impact dari penerapan sistem dan pengelolaan pendidikan di sebuah peradaban.

            Pendidikan juga merupakan sebuah aktifitas yang memiliki maksud atau tujuan tertentu yang diarahkan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki manusia baik sebagai manusia ataupun sebagai masyarakat dengan sepenuhnya. Tujuan pendidikan nasional seperti yang telah termaktub dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 yaitu “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Kata “mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan domain utama dalam penyelenggaraan pendidika Indonesia, sehingga  segala usaha dan upaya dilakukan demi menciptakan generasi bangsa yang kompeten, bermutu, dan cerdas dalam berbagai bidang, serta mampu melebur dengan arus perkembangan peradaban. Tapi tidak hanya mumpuni dalam pengetahuan, pendidikan juga memiliki tujuan untuk menciptakan generasi yang memiliki budi pakerti yang luhur, berakhlakul kharimah, memiliki kecerdasan spiritual tinggi, dan memiliki ketrampilan unggul. Oleh karena itu, kompetensi pendidikan bukan hanya berfokus pada domain kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik peserta didik.

            Pengelolaan pendidikan pada nyatanya sering terpeleset atau bahkan terbelokkan dari tujuan utama penyelenggaraannya. Banyak hambatan dan tantangan ditemui di lapangan, permasalahan pendidikan menjadi poin terpenting untuk segala diprioritaskan penyelesaiannya, namun sayangnya kondisi pengelolaan berkata lain, pendidikan justru seakan mejadi sektor yang dinomor duakan, orientasi masyarakat cenderung mengarah dalam hal perekonomian dan pola masyarakat yang cenderung materialistis, bisa kita lihat bagaimana pendidikan Indonesia bisa dikatakan sedikit tertinggal dengan negara-negara lain dari segi penguasaan teknologi dan ketersediaan sumber daya manusia. Semua orang tau pentingnya pendidikan, tetapi tidak  semua orang memiliki komitmen yang sama untuk memajukan pendidikan. Belum lagi kesenjangan pendidikan yang masih sering dirasakan oleh wilayah-wilayah tertentu, ketidak merataan sarana dan prasarana penunjang pendidikan menjadi belenggu tersendiri bagi kemajuan peradaban di wilayah-wilayah yang belum terjangkau maksimal. Apalagi mengingat negara kita adalah negara yang majemuk dengan berdiri diatas ribuan keberagaman, maka sistem pendidikan dituntut untuk bisa menempatkan diri di segala bentuk kultur, tradisi, pola pikir, kebiasaan, dan orientasi masyarakat dari Sabang sampai Merauke.

Indonesia adalah negara yang memiliki berbagai ragam budaya dan adat istiadat yang melekat dengan ragam etnis, ras budaya serta agama yang majemuk. Sehingga diperlukan suatu pendidikan multikultural, yaitu pendidikan yang menghargai perbedaan, agar tidak menjadi sumber konflik dan perpecahan. Sikap saling toleransi ini yang akan menjadikan keberagaman yang dinamis, kekayaan budaya yang menjadi jati diri bangsa yang patut untuk dilestarikan. Dalam pendidikan multikultural, setiap peradaban dan kebudayaan berada dalam posisi yang sejajar dan sama. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu peserta didik agar memperoleh pengetahuan, dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Pendidikan multikultural mempunyai empat nilai yaitu: Nilai Kesetaraan, Nilai Toleransi, Nilai demokrasi, dan Nilai Pluralisme.

Prinsip yang berusaha diajarkan dalam pendidikan multikultural adalah saling menghargai dan kesetaraan di setiap peradaban, sehingga masyarakat Indonesia yang secara kental telah memiliki akar budaya masing-masing diharap selalu tenggang rasa tanpa mengunggulkan budaya dan tradisi tertentu. Pendidikan bercorak multikultural sudah seharusnya menjadi orientasi utama masyarakat dalam menggaungkan sektor pendidikan, masyarakat secara luas berkontribusi untuk memberikan edukasi terkait pentingnya kebersamaan dan toleransi untuk membendung paradigma egosentris dan etnosentris yang dirasa selalu menjadi intrik tersendiri dalam keberagaman bangsa.

Fenomena pembenaran akan jalan pikiran dan faham sendiri dengan menyalahkan faham lain masih menjadi permasalahan besar dalam kasus keseharian masyarakat Indonesia. Fenomena truth claim atau klaim kebenaran akan golongan tertentu dan menyalahkan golongan lain masih sangat sering ditemui. Sebuah klaim kebenaran muncul dari gesekan dan benturan antar tradisi, ritual budaya, dan kegiatan beragama. Hal tersebut tersebut secara nyata dapat menimbulkan sebuah konflik yang berkepanjangan, terlebih apabila menyinggung persoalan beragama yang seperti tiada habisnya, seperti contoh kasus penolakan pembangunan rumah ibadah karena latar perbedaan agama, penolakan terhadap pemimpin urusan publik yang berbeda agama dari tingkat nasional hingga tingkat rukun tetangga, dan atas nama jihad kemudian mengkafirkan orang lain yang dianggap tidak sepemikiran. Kasus-kasus seperti ini dapat menimbulkan perpecahan yang lebih besar bahkan menelan korban, dengan itu tentunya masyarakat harus faham dan sadar akan bahayanya sikap intoleransi antar umat beragama yang secara perlahan dapat menggerogoti jati diri bangsa dan memendam cita-cita persatuan dengan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia yang senasib dan sepenanggungan dalam bingkai NKRI.

Kebebasan berfaham dan menguatkan fahamnya adalah bagian dari hak dan kebebasan seluruh lapisan masyarakat, tetapi faham tersebut harus dapat disesuaikan dengan keberagaman yang juga menghiasi seluruh lapisan masyarakat Oleh karena itu, sebagai masyarakat yang cerdas harus bersikap bijaksana dan berfikir moderat di setiap permasalahan yang menyinggung perbedaan pendapat, tidak seharusnya membendung kebebasan berfaham dan tidak juga membiarkan sebuah faham yang cenderung ekstrim berkembang. Dalam kasus kehidupan beragama sering ditemui gesekan faham antar golongan umat beragama, mulai dari perbedaan pola fikir, perbedaan dasar hukum, perbedaan pelaksanaan ibadah, hingga perbedaan kepentingan. Persoalan agama sangatlah sensitif apabila di singgung terlalu jauh, sehingga sedikit saja gesekan yang didasari oleh perbedaan akan menyebabkan perpecahan berkepanjangan, apalagi muncul beragam golongan ekstrimis dan radikalis yang menyebarkan dogma sepihak dengan menyalahkan faham keagamaan lain tapa terkecuali, solusi paling ideal untuk ditanamkan dan menjadi dasar penyikapan terkait konflik beragama adalah solusi beragama jalan tengah (moderasi).

Indonesia adalah negara yang sangat majemuk, keberagaman bisa ditemui hampir di segala lini kehidupan, apalagi menyangkut faham dan pemikiran beragama, nyaris tidak ada satupun aktivitas yang lepas dari agama, itulah mengapa kemerdekaan beragamma juga dijamin oleh konstitusi negara. Tugas kita sebagai warga negara yang cerdas adalah menjaga keseimbangan kebebasan beragama dengan komitmen kebangsaan untuk mewujudkan cita-cita tanah air. Konsep keseimbangan kebebasan beragama tertuang dalam prinsip moderasi beragama. Prof. Dr. Oman Fathurahman, M. Hum. selaku ketua kelompok kerja moderasi beragama Kementerian Agama RI menyatakan bahwa moderasi beragama adalah cara pandang dan sikap praktik beragama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan, dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil, berimbang dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa. Kata moderasi merupakan lawan dari kata Tataruf, Al-Gulluw, atau Tasyaddud yang memiliki makna ekstrim, sebuah fenomena bisa dikatakan esktrim apabila melampaui batas ketentuan syariat agama. Sebuah fenomena dikatakan ekstrim apabila ditemui beberapa batasan yaitu :

1.      Atas nama agama seseorang melanggar nilai-nilai luhur dan harkat mulia kemanusiaan, karena sejatinya agama menjunjung tinggi kemuliaan.

2.      Atas nama agama melanggar kesepakatan bersama yang dimaksudkan untuk kemaslahatan umum.

3.      Atas nama agama melanggar hukum-hukum yang berlaku.

Ketiga batasan tersebut menjadi indikator ketentuan aktivitas publik bisa disebut sebuah hal yang esktrim. Dari ketiga batasan tersebut, bisa disimpulkan bahwa pada hakikatnya semua agama mengajarkan ajaran yang mulia dengan menjunjung tinggi kemanusiaan dan kemaslahatan bersama,  oleh karena itu kemuliaan agama tidak bisa ditegakkan dengan cara merendahkan harkat martabat kemanusiaan dan bertentangan dengan kemaslahatan.

Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan peradaban Indonesia, golongan muda senantiasa menjadi elemen penting yang menentukan arah sebuah filosofi dan orientasi peradaban ditujukan. Kalangan muda menjadi decision maker terhadap segala seuatu yang terjadi kedepannya, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi kepentingan secara luas. Kalangan muda juga sangat erat kaitannya dengan problematika keberagaman Indonesia yang belum bisa terbingkai menjadi satu-kesatuan utuh. Kalangan muda menjadi salah satu pilar utama tegaknya sebuah ideologi dan militansi kesuburan perkembangan sebuah faham. Tidak sedikit kalangan muda yang aktif ikut serta dalam kampanye penguatan faham keagamaan golongan-golongan tertentu, bahkan menjadi bidak utama dalam mengeksekusi segala cara untuk memenangkan fahamnya. Sebuah kekhawatiran nyata apabila kalangan muda dengan jiwa militansinya yang meledak-meledak menjadi korban bahkan pelaku utama dari faham radikalisme dan ekstrimise.

Intoleransi keagamaan dikalangan anak muda menjadi sebuah hal yang sangat sering dijumpai, ajaran  radikalisme sangat gampang diserap oleh anak muda melalui media-media digital. Tidak dapat dipungkiri perkembangan peradaban mejadi semakin modern dengan segala kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi-teknologi terkini untuk menunjang kehidupan. Kemajuan teknologi digital menjadi warna tersendiri dalam mengirigi perkembangan peradaban, teknologi digital adalah salah satu instrumen kehidupan yang tidak dapat dibendung perkembangnnya, segala bentuk aktivitas manusia telah teralihkan kedalam media-media digital yang semakin berjalannya waktu menjadi kebutuhan pokok bagi seluruh manusia, itulah yang diistilahkan dengan digitalisasi. Digitalisasi adalah peralihan pemanfaatan teknologi berbasis digital untuk digunakan hampir pada setiap aspek  kehidupan agar masyarakat bisa dengan mudah dan cepat untuk mendapatkan informasi lewat akses internet. Digitalisasi memberikan impact yang sangat signifikan terhadap perkembangan peradaban manusia, memberikan beragam kemudahan dan kecepatan bagi aktivitas keseharian. Tetapi, kemudahan komunikasi dan informasi yang tanpa terkendali dapat menyebabkan masyarakat sangat mudah untuk tergiring oleh opini-opini buruk, dan kecenderungan untuk meng-amini segala sesuatu yang disuguhkan di media-media digital (post truth).

Perkembangn arus media internet membuka banyak celah bagi masuknya berbagai faham intoleransi dan radikal. Berbagai tipologi keagamaan muncul memperebutkan eksistensi masing-masing, diantaranya adalah faham liberal, konservatif, islamis, radikal dan moderat. Media sosial atau berbagai situs seperti website dan blog, dianggap objek paling tepat untuk mengemukakan berbagai pandangan keagamaan. Setiap kelompok agama mampu untuk meretas, mempublikasikan, dan mengendalikan model keagaman yang diyakini untuk disebarkan ke khalayak luas, karena bisa dikatakan bidang kajian agama sendiri merupakan area kompetitif bagi setiap kelompok keagamaan. Oleh karena itu, tak heran jika beberapa kelompok radikal mengklaim kebenaran (truth claim) tunggal yang kemudian cenderung menganggap sesat kelompok lain yang tidak sepemahaman. Dalam perkembangan media terkini, beragam faham konservatif menjamur dan menyuburkan diri dengan akses berbagai paltform digital yang tersedia di zaman ini, sebut saja berbagai media sosial seperti Youtube, Facebook, Whatsapp, Twitter, dan Instagram menjadi ajang perjumpaan seluruh masyarakat secara global. Media-media tersebut beserta berbagai portal keislaman berupa websyte menyuguhkan narasi-narasi keagamaan yang tidak terhitung jumlahnya, berbagai ajaran berusaha mengakses media-media tersebut sebagai wadah syiar dan penyebaran faham mereka masing-masing, tak terkecuali ajaran yang cenderung konservatif dan radikalis.

Keterbukaan media tersebut menjadi pintu tersendiri bagi anak muda dalam menimba informasi bahkan menjadi wadah tersendiri untuk menemukan pembelajaran jati diri. Media keagamaan konservatif menjadi salah satu portal yang sering diakses kalangan muda masa kini, fenomena seperti ini menjadi salah satu sebab utama suburnya beragam faham konservatif yang mengarah pada ekstrimisme dan radikalisme di kalangan anak muda, serta pada ujungnya dapat memunculkan benih-benih terorisme. Kalangan muda merupakan golongan paling rentan dimasuki berbagai faham yang mengarah pada kegiatan terorisme, tidak sedikit kasus bom bunuh diri dilakukan oleh pelajar. Yang menjadi sangat riskan adalah ditemuinya banyak kasus dimana anak muda menjadi pelaku terorisme atas dasar keinginan dan pemahamannya sendiri tanpa ada doktrinisasi dari pihak tertentu  (Understanding lone wolf).

Istilah lone wolf  disematkan pada seseorang yang belajar dan manafsirkan apa yang ia pelajari secara individu, kemudian mengaplikasikan apa yang ia fahami secara otodidak. Saat ini term ‘lone wolf’ menjadi popular di berbagai negara terutama kaitannya dengan isu terorisme dan tentu saja media sangat punya pengaruh besar untuk menyebarluaskan term tersebut. Beberapa indikasi ‘lone wolf’ dapat di tandai dengan tiga hal sebagaimana disebutkan oleh Spaaij dalam bukunya yang berjudul “Understanding Lone Wolf  Terorism” yaitu : (a) Beroperasi secara individual, (b) Tidak terkait dengan sebuah organisasi teroris atau jaringan tertentu, dan (c) Modus operasi dilakukan secara langsung, secara otodidak, dan tanpa komando atau hirarki. Istilah lone wolf  merupakan perkara baru yang menjadi salah satu impact dari keterbukaan informasi media dan ketidak mampuan pendidikan dalam mengawal perkembangan anak. Faktor penyebab kasus lone wolf ini semakin menjamur tak  lain karena ketergantungan anak muda terhadap segala sesuatu yang sisuguhkan oleh media digital khususnya terkait informasi keagamaan, anak cenderung meng-iyakan segala sesuatu tanpa proses filterisasi, dan ketika anak muda memperlajari faham-faham radikalis mereka menjadi terobsesi dan kemudian mengeksekusinya. Krisis identitas juga menjadi penyebab utama anak muda menjadi lone wolf, anak muda yang masih bingung menemukan jati dirinya cenderung menjadikan tafsir otodidaknya menjadi acuan utama orientasi pemikirannya. Kemudian salah satu faktor penyebab paling fital yaitu kurangnya kontrol dari sekolah maupaun keluarga, kurangnya penanaman keagamaan, pendidikan karakter dan prinsip kemanusiaan di lingkungan sekolah menjadikan anak muda memilih jalan sendiri dalam menafsisi berbagai muatan ajaran yang dipelajari, keluarga dan lingkungan sekitar juga memegang peranan besar sebagai controlling system terdekat dalam mengendalikan apapun yang dikonsumsi oleh anak musa, kurangnya pendekatan dan pantauan dari pihak keluarga menjadikan anak semakin candu akan media, hal ini menyebabkan anak muda mejadi figur yang introvert terhadap lingkungannya sehingga apa yang dia  pelajari hanya ditafsiri oleh perspektifnya sendiri, belum sempat di diskusikan dengan perspektif orang lain.

                Kembali lagi pada topik moderasi beragama, krisis faham dan pemikiran masyarakat khususnya kalangan muda terkait ajaran keagamaan menjadi problema tersendiri yang harus ditanggulangi dengan penanaman muatan-muatan pemikiran moderat dalam berbagai rutinitas masyarakat. Sebagai masyarakat yang cerdas, kita harus berupaya untuk menagakkan tonggak-tonggak kemaslahatan dalam setiap praktek kehidupan, memanfaatkan segala sarana sebagai wadah untuk mensyiarkan kebaikan dan keseimbangan antar perilaku beragama. Kita patut sadar bahwa pandangan konservatif semakin merajalela, dan pada akhirnya memunculkan beragam klaim kebenaran tunggal yang mengarah pada faham radikalisme. Perkembangan pesat faham tersebut padaera modern ini dikendarai oleh beragam portal-portal media sosial. Media sosial merupakan ruang digitak yang menjadi cara paling ampuh dalam menyebarluaskan berbagai faham pada era sekarang, hal ini dikarenakan seluruh lapisan masyarakat dapat menginterpretasikan faham agamanya di ruang digital, segala  yang bersumber dari ruang digitlal menjai trend pola pikir baru masyarakat masa kini, sehingga faham radikal yang dalam proses penyebarannya cenderung cepat dan menakan menjadi mudah sekali di amini oleh masyarakat. Berdasar dari survei yang dilakukan oleh PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) menyatakan bahwa media internet memiliki pengaruh besar terhadap kecenderungan radikalisme dan intoleransi generasi masa kini.

            Kepopuleran media sosial menggeser otoritas keagamaan tradisional yang dimotori oleh pendidikan pesantren dan Kyai, menjadikan faham keagamaan modern berbasis media menjadi sangat populer, media sosial seakan memenuhi kebutuhan masyarakat akan segala informasi, pengetahuan, dan sumber faham keagamaan (post truth). Fenomena post truth ini berkembang karena kekuatan fundamentalisme populer yang berkelanjutan tanpa diiringi dengan kekuatan peran akal masyarakat saat ini dalam menyaring segala sumber informasi. Kurangnya budaya kritis dan banding antara perspektif satu dengan perspektif lain, antara narasi satu dengan narasi lain, merupakan kelemahan masyarakat saat ini, hal ini menjadikan orientasi paradigma narasi digital mampu menciptakan opini dari masyarakat dan menjadikan realitas fakta tidak lagi mejadi kriteria dalam mencari kebenaran. Cara meminimalisir dan membendung pola pikir masyarakat yang dikawatirkan tergiring oleh ajaran radikal  adalah dengan membanjiri media dengan konten yang damai dan tenggang rasa antar umat beragama. Gus Dur pernah berkata bahwa “Persaudaraan manusia meski berbeda agama menjadi pilar perdamaian”.

            Mainstreaming moderasi beragama merupakan kegiatan yang harus digalakkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Mainstreaming ini dapat dilakukan melalui konten media sosial seperti narasi berupa artikel lewat portal-portak media digital. New media  adalah platform yang sangat interaktif dengan networking dan komunikasi tanpa batas, Indonesia memiliki jumlah pengguna internet mencapai 202,6 juta jiwa atau 73, 7 % dari total penduduk. New media memberikan implikasi cukup besar pada aspek pemikiran, fatwa, keberagaman yang terjalin atas dasar norma agama. Mainstreaming moderasi beragama menjadi suatu keharusan bagi kita sebagai masyarakat yang cerdas dan menjunjung tinggi perdamaian, kontribusi kita sebagai generasi muda khususnya adalah dengan membanjiri berbagai platform-platform  digital dengan konten-konten edukasi moderasi beragam dengan mengusung arah pemikiran yang damai dan mementingkan kemaslahatan umum. Menyadari bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi digital bukan hal yang hanya untuk didiamkan dan dinikmati, tetapi juga disikapi dengan cerdas demi tatanan kehidupan yang dinamis dan stabil. Menyadari betapa pentingnya penguasaan kecerdasan teknologi sehingga tidak tergeser oleh teknologi itu sendiri, memahami bahwa arus new media merupakan lahan yang sangat basah guna menanam berbagai kemaslahatan dan mau berupaya untuk selalu mengisinya dengan konten-konten positif.

            New media menjadi salah satu pilar peradaban yang tidak cukup untuk dilihat saja, kita patut mengetahui bahwa new media bersifat ekspresif dan agresif yang telah menciptakan konstelasi dan komposisi baru yang memberikan dampak secara fundamental merubah pola konvensional kehidupan masyarakat, dengan new media sejumlah oknum secara mudah dapat menggeser berbagai otoritas klasik dan menggantinya dengan otoritas moder, memungkinkan terjadinya pelepasan otoritas keagamaan tradisional menjadi faham-faham baru yang perlu untuk difilterisasi bahkan dibendung.

Kita patut berupaya untuk menjadikan pemikian moderasi sebagai keyword baru pada peradaban ini, membanjiri konten moderaasi beragama di berbagai kanal digital, menjadikan portal-portal digital sebagai penguat faham moderat. Lewat new media, kontestasi ideologi akan sangat mudah disebarkan dengan biaya yang murah, maka dapat dipastikan media digital akan menjadi lahan perebutan publik untuk menarasikan berbagai faham dan mempengaruhi realitas-realitas nyata agar sesuai dengan maksut dan tujuannya. Dari situ, maka kita sebagai kalangan muda sebagai generasi pelaku utama dalam peradaban digital turut  ikut serta dalam menggaungkan moderasi beragama, menempatkan posisi sebagai agent of balance yang sesungguhnya, menuangkan berbagai karya di media digital untuk mencerdaskan masyarakat dan menjaga kemuliaan berdasarkan prinsip kemanusiaan yang berdabab dan adil . Moderasi beragama hanya dapat ditegakkan dengan tiga aspek yaitu ilmu, kebajikan, dan keseimbangan. Dengan itu, kalangan muda harus senantiasa memperkaya wawasannya di berbagai disiplin ilmu, selalu mengamalkan hal-hal yang bijak, dan  menjadi figur yang seadil mungkin dalam memposisikan diri diberbagai situasi dan kondisi. Menguatkan faham bahwa prinsip moderasi merupakan praktik kehidupan yang paling seimbang dan setara (middle way), sehingga kemajemukan kultur bangsa Indonesia dapat terbingkai secara utuh untuk mewujudkan persatuan Indonesia. Dengan keberagaman yang ada, justru menjadikan bangsa ini semakin kokoh dan berdiri diatas berbagai supply power di  segala lini.

Peran pendidikan juga sangat besar dalam penguatan prinsip moderasi beragama. Penanaman militansi pemikiran peserta didik untuk menjadi figur yang moderat perlu ditekankan sedini mungkin lewat beragam fitur yang sesuai dengan jenjang masing-masing. Pendidikan Indonesia perlu mendesain materi dan metode deradikalisasi yang relevan dengan karakteristik psikologis anak, menerapkan progam yang relevan, inovatif, dan inspiring. Masyarakat juga perlu memfokuskan titik sasaran kepada generasi-generasi muda sebagai obyek prigam deradikalisasi, karena kebanyakan progam deradikalisasi selama ini hanya menyentuh ormas, jumlaahh anak muda yang tidak terlibat dalam progam deradikalisasi jauh lebih banyak. Sebagai anak muda, kita juga harus sadar akan bahayanya dislokasi dan deprivasi, mejadikan diri sebagai individu yang terbuka dengan berbagai masukan dari perspektif orang lain, menjadikan diri sebagai individu yang komunikatif agar pemahaman kita tidak merujuk pada penafsiran buta yang mengarah pada kasus lone wolf. Disamping itu, selalu berupaya untuk berperan sebagai main actor dalam berbagai kegiatan untuk kemaslahatan, ikut serta mengedukasi masyarakat secara luas terkait segala sesuatu yang masih menjadi  kelemahan tersendiri masyarakat Indonesia terkhusus pemahaman masyarakat terkait narasi media digital, menanamkan opini masyarakat untuk selalu berfikir moderat dalam situasi apapun. The fate of Nation in your hands...Wish You Victory...!

 

SOURCE :

Amin, Muh. 2018. “Pendidikan Multi Kultural”. JURNAL PILAR Volume 09, No. Makassar: Universitas Muhammadiyah Makassar.

Aziizu, Burhan Yusuf Abdul. “Tujuan Besar Pendidikan Adalah Tindakan” PROSIDING KS: RISET & PKM, Volume 2, Nomor 2.

Haryani, Elma. 2020. “Pendidikan Moderasi Beragama Untuk Generasi Milenia: Studi Kasus ‘Lone Wolf’ Pada Anak Di Medan”. EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan. Jakarta:  Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama

Hefni, Wildani. 2020. “Moderasi Beragama dalam Ruang Digital:  Studi Pengarusutamaan Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri” Jurnal Bimas Islam Vol 13 No. 1. Jember: Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember.

Kementerian Agama RI. 2019. “Tanya Jawab Moderasi Beragama”.  Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Gedung Kementerian Agama RI.

Nasution, Efrizal. 2014. ”Problematika Pendidikan di Indonesia”. Jurnal Fakultas Ushuluddin Dan Dakwah. Ambon: IAIN Ambon

Nisok, Siti Roisadul. 2021. Mainstreaming Moderasi Beragama Di Ruang Digital: Telaah Atas Portal Keislaman Islami.Co Perspektif Rasionalitas Komunikatif Jürgen Habermas”. Skripsi. Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel.

Nurkholis. 2013. “Pendidikan Dalam Upaya Memajukan Teknologi”. Jurnal Kependidikan, Vol. 1 No. 1. Purwokerto: STAIN Purwokerto.

Wuryanta. AG. Eka Wenats. “Digitalisasi Masyarakat: Menilik Kekuatan dan Kelemahan Dinamika Era Informasi Digital dan Masyarakat Informasi”. Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 1, Nomor 2.

Post a Comment

0 Comments