Dimensi Sempit Politik Bagi Anak Muda?

 

Dimensi Sempit Politik Bagi Anak Muda?

Rizky Ahmad Fahrezi

Indonesia merupakan bangsa yang besar dengan sejarahnya yang panjang, sejarah perjuangan dan pengorbanan yang besarnya tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata. Indonesia adalah negara yang berdiri karena tangan-tangan mengepal untuk melawan penindasan, Indonesia berdiri karena pundak-pundak yang memar untuk memikul lecutan perjuangan, Indonesia berdiri karena dada-dada yang membusung untuk menolak kesengsaraan.

Indonesia tumbuh dan berdiri karena perjuangan, pertumpahan, pengorbanan, dan tentunya sejarah anak muda serta politik yang mengiringinya. Romantisme pemuda dengan perjuangan kemerdekaan menuntun kita untuk kembali mengingat sejarah kekuatan anak muda untuk menyongsong perubahan dan mewujudkan kesejahteraan. Kita tilik kembali betapa anak muda membawa perubahan besar dalam mengiringi perjalanan bangsa yang memunculkan harapan baru bagi sistem kenegaraan dan kehidupan berbangsa, sebut saja peristiwa Rengasdengklok pada Agustus 1945, gerakan revolusi 1965/1966, hingga gerakan reformasi 1998.

Bicara terkait politik, politik bisa disebut suatu cara membuat kesepakatan antar manusia sehingga mereka bisa hidup berdampingan atau berkelompok dalam suatu suku, kota bahkan hingga di negara. Politik merupakan pengetahuan untuk memproses hubungan antar manusia yang kemudian memunculkan keputusan atau kebijakan. Bicara tentang kebijakan, kebijakan merupakan salah satu prosuk politik, dan kebijakan sendiri identik dengan sistem yang berkuasa atau memerintah (pemerintahan), maka dari itu politik sangat erat dengan lingkup pemerintahan suatu bangsa atau negara.

Indonesia sendiri pasti lekat dengan sistem politik, bahkan sejarah bangsa Indonesia sendiri adalah sejarah perpolitikan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pemerintahan. Sebut saja bagaimana BPUPKI berusaha menyiapkan kemerdekaan Indonesia dengan memulai sidang pertama pada tanggal 28 Mei 1945 yang salah satunya memutuskan sila-sila ideologi bangsa yang kemudian lahir Pancasila, kemudian sidang kedua pada 10 Juli 1945 yang salah satunya membahaskan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Sedikit cerita tentang BPUPKI tersebut merupakan bagian kecil dari keputusan politik yang kemudian menata dan menyusun berdirinya negara Indonesia hingaa saat ini. Politik juga sangat erat di sekitar kita, sebut saja beragam kesepakatan yang lahir karena interaksi dan siasat dari tokoh-tokoh lingkungan kita yang kemudian kita terapkan dan rasakan dalam menjalani rutinitas sehari-hari. Dapat disimpulkan politik sangat dekat dengan kita.

Politik dalam konteks lebih besar dan mungkin mejadi hal yang sangat sering kita saksikan, adalah sistem perpolitikan dari para pemangku kebijakan atau kekuasaan di negara kita. Sebut saja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif yang memiliki wewenang untuk membuat dan menyusun Undang-Undang, sangat sering kita saksikan bagaimana DPR menetapkan beberapa kebijakan yang akhirnya tentunya berdampak dan terasa bagi kehidupan kita, bahkan banyak juga kebijakan yang dinilai kontroversi dan sempat memunculkan berbagai keributan sebagai bentuk penolakan oleh rakyat.

Kekuasaan politik tentunya merupakan kekuatan besar yang dapat mengatur berbagai kebijakan dimana akan berdampak bagi kehidupan di segala aspek, kekuasaan politik itulah yang menjadi rebutan bagi segelintir politisi untuk dimiliki, kemudian menciptakan berbagai kontestasi politik personal maupun golongan. Kekuasaan politik yang dimiliki oleh para pemangku kekuasaan menjadi alat tersendiri untuk menciptakan sebuah tatanan, tentunya dengan itu para pemangku kekuasaan atau segelintir orang yang terlibat didalamnya memiliki wewenang dan akses lebih besar dalam mengatur dan menata sistem suatu wilayah. Berbeda dengan rakyat biasa yang sedikit sulit mencari akses apabila ingin terlibat langsung dalam ruang politik tertentu. Hal tersebut menjadi suatu perbincangan, apakah politik itu menetapkan kriteria? Atau apakah memang sistem politik di negara ini sengaja membendung atau bahkan menyingkirkan?

Berhubung momen yang berdekatan dengan pemilihan umum Republik Indonesia tahun 2024, tentunya kontestasi politik semakin digaungkan di segala lini. Tak tanggung-tanggung, berita tentang perencanaan dan kompetisi politik pada pemilu yang akan datang selalu menghiasa headline berbagai media, baik media massa, media elektronik, dan media maya atau media sosial. Kita tahu bahwa kondisi seperti ini menjadi template tersendiri dari kurun waktu 5 tahunan yang menjadi siklus, dan kita tahu bahwa apa yang disuguhkan oleh sajian politik 5 tahuna  tersebut seakan menjadi makanan yang sudah terasa hambar. Dibalik momen kontestasi tersebut terdapat potensi emas yang sejatinya tampak namun terkubur, potensi untuk merubah bangsa dan potensi untuk menyalurkan pemikiran baru bagi perkembangan bangsa, potensi itulah anak muda.

Namun, benarkah mayoritas anak muda tidak tertarik dengan diskursus politik ini? Mayoritas anak muda hanya sekedar tau dan mengikuti, namun tidak untuk berupaya berkontribusi? Jika benar begitu apa penyebabnya?. Survei dari CSIS Indonesia menyebutkan bahwa 14,6% anak muda tertarik menjadi DPR/DPRD dan 14,1% tertarik menjadi kepala daerah (berwenang dalam sistem politik), kemudian sebesar 84,7% anak muda tida tertarik menjadi DPR/DPRD, dan 85,2% tidak tertarik menjadi kepala daerah (tidak tertarik untuk berwenang lebih dalam sistem politik) dari survei tersebut dapat disimpulkan bahwa mayoritas anak muda tida tertarik menggeluti dunia politik, lalu apakah penyebabnya?

Dewasa ini, dikutip dari laporan harian kompas bahwa anak muda dihadapkan dengan situasi sempit dalam berpolitik, mengapa dikatakan demikian? Banyak faktor yang melatarbelakangi disebutkannya ruang sempit politik bagi anak muda. Sebuta saja beragam situasi dimana anak muda seakan dibungkam dan dipukul mundur ketika mereka menyuarakan aspirasi untuk mewakili suara rakyat, banyak kejadian dimana anak muda ditangkap bahkan dianiaya oleh sejumlah oknum polisi yang mengatasnamakan keamanan, hal tersebut telah menjadi gambaran bahwa sistem demokrasi sedang berjalan tidak baik-baik saja, aspirasi yang seharusnya menjadi tools bagi rakyat untuk mengakses ruang politik justru dihambat, belum lagi masyarakat yang tidak pro pemerintah seakan dibungkam, sebut saja penangkapan terhadap pelaku pembuat karya mural kritik pemerintah yang seakan menandakan inilah zaman demokrasi namun antikritik.

Membahas tentang sempitnya ruang politik bagi kaum muda tentunya ada berapa fator yang bisa menjadi bahan diskursus:

1.      Elitisme golongan tua

Besarnya proporsi pemuda dalam setiap kontestasi politik (Pemilu) membuat kau muda menjadi target bagi para pelaku politik untuk menjaring suara, akan tetapi hal itu belum diikuti terbukanya peluang yang cukup memadai bagi kaum muda untuk terlibat aktif dalam kontestasi politik. Kondisi seperti ini dinilai merupakan akibat dari perilaku elitis golongan elit atau golongan tua yang mempersempit golongan muda untuk terlibat. Hal ini berkaitan dengan sistem pengaruh dari golongan elit atau golongan tua disuatu lingkup tertentu yang mengedepanan sisi senioritas. Seakan-akan golongan muda hanya sebatas komoditas dalam suatu konteks kepentingan politik, bukan dilibatkan sebagai pelaku politik. Selain itu seakan terdapat sistem antrean yang membatasi pemuda untuk terjun langsung dalam berkontribusi dalam pengambilan suatu keputusan atau kebijakan di suatu wilayah (proses politik).

2.      Pemilu (kontestasi politik) yang kompetitif

Pemilu yang terlalu kopetitif menyababkan anak muda sulit untuk mengakses ruang dalam dimensi politik tersebut. Kondisi pemilu yang kompetitif menyebabkan orientasi fokus sistem politik hanya ditujukan untuk kemanangan salah satu golongan sehingga tidak membuka ruang berproses bagi anak muda, tentunya kembali lagi kaum muda hanya akan menjadi komoditas politik, yang kemudian menguntungkan politisi senior dan petahana. Anak muda dianggap kurang memiliki jejaring sosial dan dan pengalaman yang cukup untuk mewujudkan kemangan suatu golongan atau kepentingan politik.

3.      Kurangnya perhatian pemerintah

Pemerintah perlu menunjukkan kehadiran mereka pada kaum muda. Kehadiran tersebut berupa pemenuhan kebutuhan dan kepentingan kaum muda. Kaum muda perlu mendapat banyak dukungan dan fasilitas guna meningkatkan pemikiran, ide, dan pengalaman khususnya dalam kancah berpolitik, fasilitas tersebut berupa ruang diskursus, ruang aspirasi, ruang belajar, portal atau platform pendekatan politik dll. Sehingga kaum muda tidak cenderung pragmatis dalam berpolitik

4.      Kaum muda diremehkan dalam panggung politik

Banyak orang Indonesia masih menganggap kaum muda sebagai sekumpulan orang yang apatis, apolitis, atau hanya sekadar sebagai suatu kelompok pemilih. Banyak orang di Indonesia memiliki persepsi bahwa usia muda menandakan belum matangnya pengalaman maupun kemampuan seseorang untuk terjun ke dunia politik.Anggapan tentang minimnya kompetensi politik kaum muda berakar pada pandangan masyarakat bahwa mereka sebatas bagian atau sumber dari masalah, atau seringkali sebagai ‘aset’ yakni diperlakukan sebatas subyek yang perlu dibimbing orang dewasa agar mencapai visi atau tujuan tertentu. Budaya senioritas juga memperkuat persepsi ini. Padahal, berbagai studi menunjukkan bahwa kaum muda memiliki kapasitas dalam memimpin dan membangun gerakan.

Partisipasi kaum muda dalam politik pun masih didominasi oleh mereka yang berlatar belakang kelas sosial dan ekonomi menengah-atas dan memiliki privilege untuk mengakses berbagai sumber daya. kaaum muda terlibat dalam politik institusi publik saat ini kebanyakan memiliki kekayaan besar dan berpendidikan tinggi. Banyak yang juga masuk ke politik karena anggota keluarga mereka sebelumnya terlibat di suatu partai.

5.      Politik Indonesia dinilai ruwet

Mayorita anak muda saat ini lebih tertarik untuk fokus dalam meningkatkan kemampuan atau skill pribadi, mindset anak muda saat ini cenderung lebih materialistik sehingga mereka mendambakan profesi yang bisa menunjang dan mewujudkan keinginan mereka untuk mewujudkan berbagai keperluan barang. Masuk dunia politik dianggap sebagai sebuah hal yang ruwet dan penuh siasat, yang tentunya membutuhkan alokasi pemikiran dan waktu yang lebih. Mayoritas anak muda dihadapkan dengan berbagai stimulus dari lingkungan sekitar sehingga mengurangi attentioni terhadap dunia politik karena cepat bosan dan benci. Kaum muda menganggap politik hanya selalu bersifat generic system yang usang dan tidak relevan dengan konsisi sebagian besar masyarakat.

Bahkan kaum muda menilai bahwa politik hanya buang-buang uang. Stigma politik yang jelek dan sukar dipercaya, politik Indonesia dinilai ruwet karena terdapat beragam intrik dan gesekan dengan golongan lain (lawan) bahkan dengan rakyat sendiri, benarkah demikian?

6.      Sempitnya ruang politik di lingkup pemerintahan

Sempitnya ruang politik bagi golonga muda terlihat dari ruang pencalonan anggota legislatif. Berdasarkan rata-rata calon legislatif tingkat nasional, hanya sekitar 24,8% yang diisi oleh kaum muda dengan usia maksimal 40 tahu, kemudian pada pemilu 2019, proporsi politisi muda yang ikut maju dalam pemilihan anggota DPR hanya berkisar seperempat bagian.

Kemudian pusaran oligarki yang terlalu menancapkan sistemnya sehingga menjadikan kuasa politik seakan bersifat turun-temurun. Sistem politik tersebut telah menciptakan barrier (penghalang) bagi kaum muda untuk merintis proses dalam dunia politik, jika tidak memiliki privillege akses politik, jangan harap bisa berkiprah lebih dalam aksesibility politik Indonesia.

Sebagai kaum pemilih dengan jumlah terbesar, kaum muda memiliki daya tawar tinggi untuk terlibat aktif dalam medan politik. Keterlibatan kaum muda tersebut perlu ruang berpolitik yang adil dan transparan. Besarnya jumlah pemilik muda dapat dilihat dari rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Uum (KPU) pada 2 Juli 2023, dengan paparan data yaitu dari 204, 8 juta pemilih terdapat porsi 56% berasal dari kaum muda dari rentang usia dibawah 40 tahun, dengan rincian sebar 68,8 juta orang dari rentang usia 25-39 tahun dan dari generasi Z (17-24 tahun) mencapai 48,8 juta pemilih. Berdasarkan survei dari CSIS Indonesia pada tahun 2022 bahwa generasi muda mendominasi kontribusi pemilu sebesar 54% dari usia 15-39 tahun dan golongan lebih tua (40 tahun keatas) berada dibawahnya yaitu sekitar 46%.

Kondisi tersebut secara langsung menempatkan pemilih muda sebagai penentu pada setiap kontestasi politik khususnya pada pemilu 2024. Dengan nilai tawar yang dimilikinya sudah sepatutnya generasi muda dapat menentukan arah sistem politik dan kebijakan negara atau wilayah tertentu, generasi yang tak hanya menjadi objek politik tetapi menjadi subjek politik, generasi yang tidak lagi hanya dipandang sebagai pasar pemilih atau komoditas penjaringan suara.

Kemudian di sisi lain, kaum muda harus melek politik. Politik merupakan ruang yang fital dalam menentukan keputusan publik, menentukan tatanan dan arah kehidupan di segala aspek. Sebagai anak muda, kita harus tahu bahwa segala sesuatu yang kita rasakan sekarang merupakan produk atau hasil dari keputusan politik, sebut saja harga beras yang setiap hari dibeli oleh ibu kita, ketersediaan lapangan kerja, regulasi peningkatan mutu profesi, beasiswa yang kita pernah kejar, bahkan penghasilan yang kita dapatkan sekarang merupakan hasil dari keputusan politik.

Perlu diingat bahwa untuk berkontribusi dalam menentukan keputusan politik kita tidak perlu jadi politisi atau publik figur, pada era 4.0 ini kita bisa memanfaatkan segala digital akses dan platform media untuk menuangkan gagasan, ide, dan aspirasi kita bisa menjadi manajer bagi diri kita untuk menuangkan segala aspirasi dengan tidak takut untuk bersuara atau memberikan opini, diimbangi dengan konsistensi dan idealisme sehingga dalam kurun waktu tertentu opini kita akan menjadi domino effect terhadap masyarakat yang kemudian dapat bersama-sama mengamini serta menciptakan new opinion for decision untuk sebuah perubahan. Kaum muda harus selalu merasa envolved dalam setiap proses decision making penentu arah perjalanan bangsa kedepan. Mengingat lingkup politik tida hanya bicara pada subjek pemerintahan saja tetapi terdapat lingup politik dalam Bidang pendapat umum, golongan yang terdiri dari kelompok penekan, dan partisipasi warga negara dalam pemerintahan.

Kemampuan anak muda lebih bisa menerima perubahan dan membuat keputusan kreatif. Tentunya sebagai kaum muda upgrading capacity sangat harus senantiasa kita lakukan, mengingat perubahan dan perkembangan merupakan sebuah kepastian. Ada beberapa skill yang direkomendasikan oleh World Economic Forum untuk dikuasai oleh anak muda yaitu critical thinking, creative thinking,dan complex problem solving. Dari ketiga skill tersebut tergambar bahwa anak muda memiliki kapasitas unggul yang harus dimunculkan, dikuasai, kemudian direalisakian dengan tindakan berpolitik yang bijak, seperti contoh sikap pemberian kritik yang tentunya harus berdasar dan disertai dengan solusi (kritik yang konstruktif). we are the beginning of everything.

Semua anak muda memiliki segalanya kecuali pengalaman, maka dari itu pengalaman perlu dicari dan perlu dimulai....Wish You Victory..!!!

 

 

Post a Comment

0 Comments