Politik Identitas, Seberapa Bahaya? Penyikapan dalam Bingkai Nilai To Think, To Understanding, and To Do

 

Politik Identitas, Seberapa Bahaya?

Penyikapan dalam Bingkai Nilai To Think, To Understanding, and To Do

Rizky Ahmad Fahrezi



source gambar: https://shootlinenews.com/

Berbicara tentang politik identitas, merupakan sebuah bahasan yang panjang untuk ditelaah, mengingat politik identitas merupakan wilayah diskursus yang membutuhkan banyak landasan, perspektif, dasar hukum, dan kesadaran penyikapan yang benar. Apalagi politik identias selalu menjadi headline utama yang santer diperbincangkan di setiap momen kontestasi politik yang akan segera terjadi.

Seluruh manusia pada hakikatnya pasti memiliki sebuah identitas. Identitas yang menjadi jati diri dan melandasi kehidupan mereka. Identitas-identitas tersebut seperti halnya etnis, ras, suku, wilayah, warna kulit, gender, dan agama. Namun dalam praktek politik identitas, identitas tersebut menjadi salah satu alat untuk menciptakan sectoral identity yang kemudian menimbulkan pembenaran sepihak (truth claim) dan akhirnya mengerucut pada mobilisasi masa untuk kepentingan politik tertentu.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kepemilikan identitas menjadi suatu kewajaran bagi setiap individu, namun ketika identitas tersebut dipolarisasi dan menciptakan kelompok-kelompok fundamentaslis (kubu-kubu, aliran-aliran tertentu) yang dalam perjalanannya akan saling menyalahkan satu sama lain bahkan memicu perselisihan guna mewujudkan kepentingan masing-masing, bukankah itu bakal menjadi sumbu-sumbu yang akan menyulut meledaknya konflik dan menghanguskan kesatuan bangsa Indonesia?. Tentunya hal demikian sangat membahayakan dan akan merobohkan fondasi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang plural.

Berikut akan dipaparkan beberapa bahasan terkait politik identitas, sebarapa bahaya? Apakah bisa menjadi alternatif yang bijak? Dan bagaimana menyikapinya?

Definisi dari politik identitas menurut Agnes Heller adalah sebagai sebuah gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah pada suatu perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama. Agnes Heller menggambarkan terkait politik identitas dalam hal ini sebagai politik, yang difokuskan pada suatu pembedaan, dimana sebagai kategori utamanya adalah menjanjikan kebebasan, toleransi, dan kebebasan bermain (free play) walaupun pada akhirnya akan memunculkan pola-pola intoleransi, kekerasan dan pertentangan etnis

Berdasarkan definisi tersebut, politik identitas identik dengan kegiatan pengelompokan yang didasarkan pada berbagai perbedaan, berdasarkan perbedaan tersebut timbullah batas-batas tertentu yang tidak bisa melebut satu sama lain. Dengan adanya pembedaan tersebut para pelaku politik menggunakannya untuk memobilisasi suara ataupun masa guna memenangkan hastar politiknya. Dalam perjalanannya dengan politik identitas ini cenderung sangat mudah menyulut gesekan, pertentangan, pergunjingan pendapat, saling sikut kepentingan, hingga kekerasan. Seseorang atau kelompok yang dianggap berseberangan jalan akan disikat habis dengan berbagai cara agar memuluskan jalan politiknya.

Menilik lebih dasar lagi, manusia pada hakikatnya merupakan makhkuk sosial yang memiliki kecenderungan untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan menciptakan kelompok-kelompok. Degan demikian manusia secara alamiah akan berusaha membentuk pengakuan akan dirinya sendiri ataupun kelompoknya, sehingga dengan hal itu manusia menciptakan identitas diri ataupun identitas kelompok dan pada akhirnya akan berjuang untuk menguatkan eksistensinya. Dengan kata lain, identitas merupakan hal mendasar yang dimiliki oleh setiap individu dan tidak dapat dilepaskan. Identitas-identitas tersebut menjadi wadah tersendiri bagi manusia untuk menguatkan citra diri, mencari relasi produktif, membangun sebuah visi, bahkan menjadi payung tersendiri bagi jaminan keselamatan dan keamanan.

Namun pada perkembangannya, identitas-identitas seperti ras, etnis, suku, bahkan agama menjadi salah satu latar belakang timbulnya berbagai gesekan. Hal ini terjadi karena sebuah pemahaman identitas yang semakin fundamental akan memunculkan pola pemikiran non-inklusif yang pada akhienya memunculkan tindakan-tindakan yang mendiskreditkan atau mendowngrade identitas lain yang dianggap berseberangan atau tidak sepemikiran. Apalagi ketika identitas tersebut dipolitisasi oleh sejumlah kalangan politisi elit sebagai alat untuk memuluskan hajat politiknya. Hal demikian akan semakin menjadikan keberagaman identitas sebagai sebuah dasar pelabelan ekstrim yang membeda-bedakan satu sama lain. Perbedaan-perdaan inilah yang kemudian menimbulkan gesekan kepentingan yang pada akhirnya muncul pernyataan diskriminatif dan kekerasan fisik.

Politik identitas merujuk pada serangkaian strategi politik yang berkaitan dengan pengorganisasian dan mobilitas politik berdasarkan identitas kelompok tertentu, seperti identitas etnis, agama, gender, orientasi seksual, atau atribut lainnya. Ini mencakup upaya politik yang menerasikan perjuangan hak-hak dan kepentingan khusus kelompok tersebut. Bila dilacak dari sejarah Indonesia, politik identitas yang muncul cenderung bermuatan etnisitas, agama dan ideologi politik.

Perkembangannya gairah etnisitas dan agama tidak lagi menjadi tempat orang mengespresikan diri dan mengungkapkan diri secara budaya, tetapi akan berubah menjadi tempat orang menyembunyikan diri secara politik dan mencari keamanan diri secara budaya. Pilihan politik maupun budaya masyarakat menutup diri merupakan jalan terbaik dalam mengikuti jejak langkah politik kekuasaan. Karena itu ketika Negara sudah mengalami pelemahan basis materialnya maka masyarakat menjadi pencari perlindungan pada kelompok agama maupun etnistas. Sehingga dari hal itu, masyarakat yang memposisikan diri sebagai objek politik baik secara sadar atau tidak sadar, akan mudah termobilisasi dan terangkul oleh faham politik primordial dan dengan mudah mengarus pada perjalanan politik yang berbasis penguatan identitas untuk suatu kemenangan sepihak.

Histori Politik Identitas ?

Politik identitas telah dikenal sejak zaman dahulu, karena pada hakikatnya sebuah penguatan identitas yang kemudian menjadi bentuk kekuatan masa yang pada akhirnya menciptakan kekuatan untuk kekuasaan, menjadi siklus tersendiri dalam suatu sistem politik.

Sejak tempo dahulu kita dipaparkan rekam sejarah pertarungan panjang terjadi antara Amerika dengan Cina yang merupakan perseteruan ideologi kapitalisme dengan komunisme yang berujung pada sentimen identitas. Amerika Serikat dan Tiongkok bersaing untuk mempengaruhi dan membentuk tata dunia sesuai dengan visi dan nilai-nilai mereka. Persaingan ini mencakup upaya untuk membangun aliansi, memperluas pengaruh di organisasi internasional, dan membentuk arsitektur global yang sesuai dengan kepentingan masing-masing.Pertentangan identitas antara Amerika Serikat dan Tiongkok menciptakan lingkungan geopolitik yang kompleks dan terus berkembang. Perseteruan ini juga berdampak secara langsung dalam sistem kultur dunia bahkan Nusantara (Indonesia) seperti sentimen terhadap etnis china hingga memunculkan kelompok yang menamakan dirinya anti-Cina.

Pada tahun 1740 terjadi kerusuhan anti Cina di Batavia yang dikenal sebagai Geger Pacinan atau Tragedi Angke yang menelan korban lebih dari 10.000 orang Cina. Belanda dengan membuat undang-undang kependudukan yang memposisikan warga pribumi sebagai inlander, atau warga negara kelas rendah, sementara Cina menduduki kelas atas dan mendapatkan akses ekonomi yang tidak diberikan kepada penduduk pribumi. Perlakuan diskriminatif tersebut membuat masyarakat pribumi memendam kemarahan terhadap etnis Cina, sehingga kapan pun bisa disulut oleh pihak luar seperti Amerika yang memang tidak suka dengan Cina menjadi kerusuhan rasial.

Pada perkembangannya gerakan-gerakan berbasis identitas muncul dengan menyuarakan hak-hak asasi manusia, yang dilatarbelakangi oleh golongan tertentu yang terpinggirkan kemudian berjuang berdasarkan persamaan nasib. Pada abad ke-20, gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat menyoroti pentingnya identitas rasial dalam perjuangan melawan segregasi dan diskriminasi. Gerakan ini, yang mencapai puncaknya pada 1950-an dan 1960-an, memperjuangkan hak-hak sipil bagi orang-orang kulit hitam dan mendesak untuk penghapusan hukum dan praktik-praktik yang membedakan berdasarkan ras. Kemudian terdapat juga gerakan feminis, terutama pada gelombang kedua pada tahun 1960-an dan 1970-an, menekankan identitas gender sebagai dasar perjuangan. Gerakan ini membahas isu-isu seperti hak reproduksi, kesetaraan upah, dan pemahaman ulang peran gender dalam masyarakat.

Di Indonesia politik identitas terjadi selama masa kolonial, politik identitas mulai muncul dalam bentuk gerakan nasionalis yang menuntut kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Pergerakan ini, yang mencapai puncaknya pada awal abad ke-20, mencakup berbagai kelompok etnis dan budaya di Indonesia. Nasionalisme muncul sebagai akibat dari tanggapan terhadap industrialisasi dan keterceraian orang-orang dari rupa-rupa ikatan primordial kepada kekerabatan, agama dan komunitas lokal. Peran ideologi nasionalisme dalam politik di Indonesia, dimulai oleh sekelompok pemuda yang tergabung dalam organisasi Budi Utumo. Melalui Organisasi inilah kemudian dipandang sebagai lambang kelahiran kesadaran nasionalisme di antara kaum pribumi dengan mencetuskan “Sumpah Pemuda” sebagai suatu komitmen politik mengaspirasikan semangat nasionalisme mereka.

Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengelola identitas etnis yang beragam. Konflik identitas etnis, seperti yang terjadi pada masa konflik di Kalimantan Barat pada tahun 1967, gerakan separatis di Aceh dan Papua mencerminkan pertentangan identitas dan otonomi di tingkat daerah.

Pada perkembangan selanjutnya, konflik identitas tidak hanya didasari oleh penguatan perbedaan antar etnis tapi juga antar agama. Tercatat pada catatan sejarah,  pada masa Orde Baru tahun 1966-1998 tercatat tidak kurang dari 456 gereja dirusak, ditutup maupun diresolusi. kemudian kasus terhadap Ahmadiyah yang dari tahun 2006 hingga sekarang menjadi pengungsi di Lombok, Nusa Tenggara Timur. Hal ini menunjukkan gesekan antar umat beragama menjadi salah satu fenomena besar yang pada masa selanjutnya memungkinkan menjadi landasan dalam kegiatan praktik politik identitas.

Penerapan politik identitas di Indonesia meletus pada perhelatan Pemilu tahun 2014, Pilkada Jakarta tahun 2017, hingga Pemilu tahun 2019.

Pada Pemilu 2014, Identitas politik dari dua paslon presiden menguak ke publik dan menjadi perbincangan panjang. Satu paslon merepresentasikan identitas sebagai sosok yang tumbuh dari kalangan non-elit atau masyarakat biasa, di satu paslon lain merepresentasikan identitas sebagai sosok yang tumbuh dari kalangan elit, konglomerat, dan militer. Pandangan agamapun menjadi suatu identitas besar yang diperbincangkan, terdapat identitas islam konservatif dan identitas islam kemasyarakatan yang ikut nimbrung kedalam kepentingan kontestasi, termasuk juga merangseknya golongan agama minoritas sebagai bentuk visi pergerakan politik. Kemudian peran elitisi partai tentunya sangat besar dalam memainkan strategi politiknya, yang bahkan tidak sedikit mengarah pada politik identitas itu sendiri, karena setiap partai politik merepresentasikan faham dan orientasi identitas masing-masing.

Pada Pilkada 2019 praktik politik identitas lebih ekstrim lagi. Dimana terdapat dua paslon gubernur yang sangat jelas merepresentasikan dua identitas yang berbeda kemudian dalam praktiknya dipolitisasi oleh sejumlah pendukungnya. Satu paslon merepresentasikan keturunan Arab dan beragama Islam, satu paslon lagi merepresentasikan sebagai keturunan etnis Tionghoa yang beragama Protestan (non-islam). Dua identitas tersebut menjadi perbincangan panjang bahkan menjadi alat pertikaian untuk menjatuhkan atau mendowngrade satu sama lain. Kemudian dengan hal itu muncul berbagai sentiment yang mencuat dengan anggapan saling tuduh antar timses yang berbunyi “golongan Kamilah yang dipilih ulama, bukan golongan lain, golongan Kamilah yang akan memperjuangkan agama, bukan golongan lain”. Satu sisi politik identitas untuk memuji calonnya sendiri dan untuk mendowngrade orang lain, karena agamanya lemah atau abal-abal.  Orang yang diolok-olok karena dianggap ibadahnya kurang benar kemudian jangan dipilih.

Pada tahun 2019, Indonesia telah melaksanakan Pemilu serentak yang untuk pertama kalinya dalam sejarah akan memilih Presiden dan Wakil Presiden bersaam dengan proses pemilihan wakil-wakil rakyat di DPR RI, DPRD, DPD. Kegaduhan politik nasional telah diwarnai dengan merebaknya berbagai Isu-isu partikularistik tentang pribumi dan non pribumi, Islam dan non Islam, Cina vs anti Cina, Khilafah Islam vs Pancasila merebak dan menjadi lumrah dibahas, digagas, dihembuskan dalam konstestasi kekuasaan di daerah maupun nasional dengan dalih demokrasi. Penelitian Litbang Kompas menunjukkan 79,1 % menilai adanya keterbelahan semenjak pemilu 2019. Dan menurut 36,3 % responden menilai keterpecahan karena provokator yang memperkeruh suasana, kalo dibiarkan terus-menerus politik identitas bakal mengoyak stabilitas bangsa.

Seberapa Bahaya Politik Identitas ?

Masih berkaitan pada pembahasan histori sebelumnya, ditarik makna penting bahwa politik identitas bisa menjadi hal yang positif atau bijak jika mengacu pada gerakan politik perubahan sosial seperti yang pernah terjadi di beberapa negara, misalnya dimana politik identitas menjelma menjadi gerakan-gerakan perempuan atau gerakan kelompok minoritas seperti kulit hitam dalam memperjuangkan hak-hak asasi mereka atas dasar penindasan dan keterpinggiran yang mereka alami dalam waktu yang tidak sebentar. Politik identitas disebut positif jika tujuannya membebaskan sesuatu yang selama ini dimarjinalkan secara politik dan diperjuangkan diruang publik.

Penggunaan identitas sebagai alasan kita menentukan pilihan merupakan hal yang sah-sah saja, misalnya kita memilih seorang pemimpin berdasarkan kecondongan kelamin, kita memilih pemimpin berdasarkan kecondongan pemahaman agama, maka itu merupakan dorongan alamiah dan naluriah yang tidak ada kriteria penyelewengannya.  Namun, yang menjadi masalah adalah ketika penerapan politik identitas yang memunculkan sentimen, saling tuduh antar identitas politik, saling melabelkan golongan masing-masing sebagai golongan yang paling benar, paling agamis, dan sipaling-paling lainya kemudian menyalahkan golongan lain dengan cara menjatuhkan dan mendowngrade pemikiran. Sisi politik identitas yang memuji calonnya sendiri kemudian megolok-olok calon lain. Seperti yang terjadi pada penyelenggaraan pilkada 2017 dan pemilu 2019.

Hal yang membahayakan dari penerapan politik identias ini adalah sektoralisme politik, separatisma politik, rasisme politik, diskriminasi politik, primordialisme berdasarkan kedaerahan. Kemudian itu semua dikemas dalam bentuk identitas itulah yang membuat celaka. Ketika faham-faham penguatan identitas semakin mengkristal dan menjadikan fanatisme golongan tertentu kemudian menjadi landasan untuk mendiskreditkan dan mendiskriminasi golongan lain, maka persatuan bangsa yang telah dibangun selama berabad-abad dengan tetesan keringat dan darah akan terasa sia-sia hingga terancam roboh karena gesekan-gesekan politik identitas tersebut. Kalau politik identitas terus didesain dan dipelihara akan menjadi sebuah industri politik yang menjadi persoalan bagi seluruh elemen bangsa yang menyulut suatu perpecahan.

Apabila praktik-praktik politik identitas semakin subur dalam setiap moment kehidupan politik kita, terutama dalam kontestasi politik di tingkat nasional mauapun pada politik lokal sudah dapat dipastikan sulit menghindari terjadinya konflik politik yang pernah terjadi akan kembali menghantui perjalanan kehidupan politik berbangsa dan bernegara kita ke depan. Kita tidak boleh terjebak pada perangkap yang sama, hanya bangsa yang mau belajar dari sejarahnya yang akan menjadi bangsa besar dan bangsa yang kuat.

Bagaimana menyikapi politik identitas?

Mengingat politik identitas akan menjadi sangat berbahaya jika menjadi penyulut suatu perpecahan dan mendegradasi nilai kesatuan bangsa, tentunya harus senantiasa disikapi oleh generasi masa kini sebagai salah salah satu elemen perubahan. Masyarakat perlu untuk memahami praktek-praktek politik yang terjadi di sekitar, pemahaman dilandasi dengan pemikiran kritis terhadap arah gerak politik yang akan dilaksanakan. Terkhusus pemahaman masyarakat terhadap penerapan politik identitas yang dinilai dapat meruntuhkan kesatuan dan persatuan bangsa, gejala-gejala awal identitas yang dipolitisasi dan kemudian dapat menyulut anarki. Masyarakat diharuskan tidak berfikir secara pragmatis kemudian terdikte oleh arus politik yang berbau identitas.

 Masyarakat awam memang sangat mudah mengarus pada suatu opini yang dipublikasikan dan dipropagandakan, apalagi opini tersebut digaungkan pada media dan platform digital masa kini. Seakan terlalu mudah mengamini, masyarakat awam cenderung mempercayai apa saja yang lewat pada beranda media mereka, budaya filterisasi dan literasi memang dirasa sangat kurang dan berimbas seperti itu. Seperti contoh saja ketika pandemic covid-19 merajalela, kabar akan bahayanya virus tersebut menimbulkan kepanikan berlebih kepada masyarakat, dan itulah salah satu contoh masyarakat secara luas masih terlalu mudah mengarus pada opini masa kini. Mengingat penafsiran kepada fenomena politik identitas harus benar-benar ditelaah dan digali sekritis mungkin, maka masyarakat perlu diedukasi dan dibudayakan untuk menganalisa dan mempertimbangkan segala konsumsi opini terlebih dari media masa kini.

Politik identitas akan sangat rawan mampu melebur pada pemikiran masyarakat awam. Ketika suatu identitas didiskreditkan dengan mengolok-olok bahkan menjatuhkannya, masyarakat yang merasa tergabung dalam identitas sang pengolok-olok akan sangat mudah terpancing dan ikut bergabung dalam penyuaraan olok-olok yang mengarah pada tindakan downgrade identitas lain. Tentunya hal ini sangat miris apabila terjadi, kerena konflik berkepanjangan hingga pertikaian fisik akan sangat mudah dijumpai.

Mengingat pemahaman dan kemampuan literasi masyarakat yang cenderung minim. Dalam kontribusi pemahaman masyarakat secara luas, maka generasi masa kini yang dianggap lebih melek teknologi, lebih melek politik, lebih memiliki semangat idealisme, harus senantiasa sadar akan perlunya penafsiran dalam terhadap praktik politik identitas kemudian berperan aktif salam menyikapinya sebagai bentuk respon pertahanan kepada ketahanan persatuan dan kesatuan bangsa. Pemahaman bahwa identitas tidak boleh dipolitisasi karena atas dasar identitas tertentu. Karena ini berdekatan dengan momen kontestasi pemilu, maka gunakan suara dengan bijak, memilih pemimpin alangkah bijaknya dengan pertimbangan kinerja, kapasitas, dan napak tilas. Sebagai negara kesatuan/demokrasi harusnya kita menutup mata dengan identitas agama, suku, gender. siapapun punya kapasitas untuk membuat Indonesia maju maka dia layak untuk merubah Indonesia. Siapapun bisa menunjukkan yang terbaik buat bangsa. Tidak boleh menggunakan / terjebak dalam pragmatisme politik sempit hanya untuk mendapatkan suara.

Salah satu cara untuk menangkal dampak negatif dari politik identitas adalah dengan menerapkan pola fikir moderat sebagai dasar keberagamaan, pluralisme sebagai dasar keanekaragaman dan  penguatan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar berkebangsaan. Ketiga nilai tersebut harus tersublimasi satu sama lain sehingga menjadi arah pikir dan arah gerak yang mampu menjiwai kehidupan keagamaan dan kebangsaan dengan baik, harmoni, dan tentram. Ketiga nilai dan pola fikir tersebur harus benar-benar menjadi roh tersendiri yang melandasi segala bentuk kegiatan kewarganegaraan khususnya yang menyangkut problema identitas dan politik pragmatis. Sublimasi ketiga nilai tersebut harus mampu menjadi landasan berpikir (to think), landasan pemahaman akan persamaan rasa (to understanding), dan arah gerak dalam bertindak serta menghasilkan karya sebagai anak bangsa (to do). Nilai-nilai tersebut menjadi landasan, arah, rambu-rambu dan tujuan dari terbentuknya kesatuan dan persatuan NKRI.

1.      To Think

Faham moderat merupakan salah satu cara menumbuhkan kerukukan diantara banyak golongan dan ajaran. Dialog-dialog keagamaan yang mengarah pada tatanan yang damai, toleran, dan berkeadilan merupakan indikasi bahwa pemikiran moderat adalah pilihan yang tepat diterapkan pada segala kondisi, apalagi mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang multi-kultural dan multi-agama. Moderatisme juga dinilai paling kondusif di masa kini.  Dalam praktiknya, faham moderat selalu mencari jalan tengah dalam menyelesaikan persoalan. “Perbedaan” dalam bentuk apa pun dengan sesama umat beragama diselesaikan lewat kompromi yang menjunjung tinggi toleransi dan keadilan sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak. Melalui cara itu pula, masalah yang dihadapi dapat dipecahkan tanpa jalan kekerasan. Pola pikir semacam inilah yang harus menjadi kerangka dan landasan utama mindset  masyarakat dan generasi masa kini khusunya dalam melandasi orientasi pemikiran dalam segala kondisi khusunya dalam menyikapi perbedaan.

Pada sila pertama, pancasila menunjukan bahwa Indonesia selalu mengedepankan Tuhan dalam kehidupan bernegara. Dengan kata lain bukanlah negara sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan bernegara. Keberadaan sila pertama ini juga mengisyaratkan agar manusia melaksanakan berbagai kewajiban dan menjauhi larangan dari ajaran agamanya. Keberadaan nilai kemanusiaan yang termuat dalam sila kedua Pancasila paralel dengan nilai moderasi beragama berupa anti radikalisme (kekerasan). Ajaran agama yang moderat juga sesuai dengan sila ketiga yang berbunyi “Persatuan Indonesia” sebagai kesadaran umat beragama untuk menjaga semangat persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Nilai-nilai Pancasila tersebut juga menjadi paradigma pemikiran tersendiri bagi seluruh lapisan masyarakat, keterwujudan persatuan diatas segala keberagaman timbul dari pola pikir yang benar dalam menafsirkan keadaan bangsa, keterwakilan pola pikir yang paling ideal bagi perwujudan nilai persatuan tersebut terdapat pada pola pikir moderat, plural, dan terbingkai dalam Pancasila sebagai dasar bernegara.

2.      To Understanding

Sebagai kerangka pemahaman akan rasa. Nilai moderasi, pluralisme, dan pancasila harus menjadi landasan dalam menumbuhkan nilai  persaudaraan atas persamaan rasa dan nasib seluruh rakyat Indonesia. Mengingat pemahaman akan persamaan rasa telah mengawali tumbuhnya tekad dan daya juang para pahlawan dahulu dalam memperjuangkan kemerdekaan. Para pejuang dahulu memunculkan kekuatan mereka sebagai suatu bangsa yang berlandaskan persamaan nasib, nasib dimana sama-sama ditindas dan disengsarakan oleh para penjajah. Lewat perjuangan akan nasib tersebut, muncullah semangat juang untuk keluar dari segala bentuk penindasan, dan pada akhirnya muncul berbagai pergerakan pemuda dan masyarakat yang terbingkai semakin rapi dari masa ke-masa untuk melawan penjajah. Dimulai dari perjuangan fisik, kemudian berlanjut dengan perjuangan nasionalisme melalui wadah organisasi, dan perjuangan lewat portal-portal politik dan diplomasi sehingga pada akhirnya Indonesia merdeka.

Lewat napak sejarah tersebut, maka masyarakat perlu menjadikan faham moderat, plural, dan nilai Pancasila tidak hanya sekedar menjadi landasan utama dalam berpikir, namun juga kerangka utama dalam membangun persamaan rasa “tepo sliro” antar sesama warga negara Indonesia. Persamaan rasa sebagai warga negara yang berjuang demi kebaikan bersama, persatuan, dan kemaslahatan negara, bukan saling sikut ataupun saling menjatuhkan satu sama lain dengan orientasi kesejahteraan sepihak. Dengan persamaan rasa tersebut akan menjiwai keberlangsungan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara dalam melakukan berbagai bentuk perjuangan yang satu visi, misi, dan orientasi. Persamaan rasa dibangun berdasarkan pemahaman, maka pemahaman secara mendalam dan saling pengertian antar sesama golongan atau identitas menjadi langkah awal dan besar dalam mewujudkan tindakan kemaslahatan.

3.      To Do

Sebagai kerangka dan landasan dalam bertindak dan berkarya. Tentunya nilai moderasi, pluralisme, dan nilai Pancasila tidak hanya menjadi landasan berpikir dan landasan untuk saling memahami, namun juga sebagai landasan dalam menentukan tindakan, bertindak secara nyata, dan menghasilkan karya.

Sebagai landasan penentuan tindakan nyata, nilai-nilai moderasi harus menjadi dasar dalam menentukan keputusan, apalagi jika keputusan tersebut menyangkut pada problematic perbedaan identitas agama. Dengan pola pikir yang moderat mampu mengambil keputusan atau tindakan dengan positioning tengah-tengah, tidak memihak kiri atau kanan, tidak memihak kawan atau lawan, tidak berat sebalah.

Paham pluralisme menjadi akar tersendiri dalam menyikapi problematik keberagaman dan multikultural. Segala bentuk primordialitasi identias, sentiment sectoral identitas, dan apalagi identitas yang dipolitisasi menjadi tantangan tersendiri bagi tumbuh suburnya pulralisme. Dengan itu paham pluralisme harus ditanamkan seluas mungkin dalam setiap lapisan masyarakat guna mengiringi semakin maraknya pula praktek politik identitas. Pluralisme bukanlah sekadar pengakuan terhadap perbedaan, tetapi juga upaya untuk mempromosikan dialog, saling pengertian, dan kerjasama di antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam praktik tindakannya.

Nilai Pancasila jelas menjadi dasar tersendiri bagi seluruh praktek kebernegaraan dan berkebangsan bagi seluruh lapisan masyarakat dalam bertindak. Mulai dari sila pertama yang memberi makna ketuhanan dan dimanifestasikan dalam berbagai macam agama di dalam bangsa, hal ini menandakan bangsa Indonesia menjunjung tinggi seluruh praktek keagaam sebagai ritual penghambaan diri kepada Sang Pencipta (Tuhan). Sila kedua sebagai praktik kemanusiaa, menjungjung persamaan dan kesetaraan dalam setiap hak dan wewenang seluruh lapisan masyarakat dalam memilih perjalanan kehidupan  masing-masing. Sila ketiga memaknai landasan praktik kesatuan dan persatuan, dalam tindakannya harus diwujudkan dalam membina kebersamaan dalam background keberagaman, menciptakan nilai persatuan dalam seluruh perbedaan. Sila keempat memaknai suatu kebijaksanaan dalam mengambil langkah bertindak, dengan mengedepankan asas kekeluargaan yang terbangun atas semangat kebersatuan, penyelesaian masalah berdasarkan musyawarah untuk mufakat dan dalam rangka maslahat. Sila kelima, memaknai suatu impian keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa ada batas-batas pembeda, dalam praktiknya selalu menghadapi berbagai tantangan yang seakan menempatkan golongan elit atau golongan mayoritas sebagai golongan yang dominan dalam merayu sebuah sistem hukum, maka dari itu dalam praktik tindakannya berusaha untuk tidak menempatkan batas perbedaan akan semua individu, identitas, agama, dan golongan dalam mendapatkan keadilan yang sama.

Dalam berbaga kondisi kondisi, nilai-nilai ataupaham diatas tampil sebagai kekuatan pemersatu (melting pot) yang menjembatani berbagai perbedaan dan kepentingan di dalamnya, Seluruh masyarakat dan lebih khususnya pemuda sebagai tokoh utama dalam menciptakan persatuan dan mendorong terwujudnya praktik kenegaraan yang lebih bermoral, bersih, dan berkesejahteraan bagi segala pihak atau identitas. Wish you victory….!

 

 

 

 

 

 

Daftar Referensi :

Al-Farisi, Leli Salman. 2018. “Politik Identitas: Ancaman Terhadap Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Negara Pancasila”. JURNAL ASPIRASI Vol. No. 2 (Indramayu: FISIP Universitas Wiralodra).

Maarif, Ahmad Syafii. 2012. Politi Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. (Jakarta: Demokrasi Project).

Juhana Nasrudin. 2018. “Politik Identitas Dan Representasi Politik (Studi Kasus pada Pilkada DKI Periode 2018-2022)”. Jurnal Studi Agama-Agama ISSN 2089-8835 Volume 1 Nomor 1. (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati).

 

Post a Comment

0 Comments