REKAYASA
SOSIAL : SENSE OF MAJORITY?
Rizky
Ahmad Fahrezi
Fenomena
sosial merupakan kejadian nyata yang terjadi di lingkup masyarakat, ditengarai
oleh satu atau banyak instrument sosial (manusia) yang melakukan sebuah
tindakan berdampak. Dalam berbagai kejadian sosial ada isu-isu sosial yang
menjadi topik perbincangan khalayak. Kita telah mengenal berbagai bentuk
isu-isu sosial yang terjadi baik di lingkup lingkungan, negara, bahkan dunia.
Isu-isu sosial tersebut tak beranjak dari kemiskinan, pengangguran, kepadatan
penduduk, lingkungan, kesejahteraan, pendapatan ekonomi, bahkan politik dan
masih banyak lagi.
Berangkat
dari fenomena dan isu sosial, tak dapat dipungkiri bakal terjadi berbagai
masalah sosial yang bermunculam. Masalah sosial menjadi domain pokok tersendiri
yang mengiringi dinamika sosial. Problem atau masalah sosial adalah
kondisi tertentu dalam masyarakat yang dianggap tidak enak atau mengganggu oleh
sebagian masyarakat dan dianggap dapat dikurangi atau dihilangkan melalui upaya
bersama atau kolektif (poor condition susceptible to collective action).
Setiap
sendi kehidupan, pastilah terdapat masalah yang urgent untuk menjadi trigger
berbagai bentuk penyikapan. Bentuk-bentuk penyikapan itulah yang nantinya menjadi
benih perubahan sosial yang ingin diwujudkan dalam rangka mengatasi masalah
sosial yang akut (social control).
Perubahan
sosial merupakan perubahan berskala massif (sosial) yang terjadi akibat suatu
stimulus perubahan yang bisa berupa masalah sosial maupun tuntutan dinamika
zaman. Perubahan sosial adalah proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan
fungsi suatu sistem sosial. Perubahan sosial merupakan keniscayaan yang menimpa
suatu masyarakat, seberapapun dia tersisolasi. Artinya, bagaimanapun keadaan
dan kondisi sosial yang terjadi perubahan sosial niscaya ada.
Bisa
kita lihat bagaimana contoh perubahan sosial (perkembangan) masyarakat berdasarkan
era (society) yaitu mulai dari era society 1.0 (era masyarakat berburu),
society 2.0 (era masyarakat Bertani), society 3.0 (era masyarakat
industru pabrik), society 4.0 (era masyarakat teknologi), dan society
5.0 (era manusia menjadi domain utama dari teknologi itu sendiri). Society
tersebut menunjukkan pengklasifikasian era berdasarkan masalah dan
kebutuhan hidup yang dihadapi masyarakat sehingga mereka berganti gaya dan
orientasi hidup, itulah perubahan atau perkembangan sosial.
Suatu
perubahan sosial menjadi aspek yang bisa diwujudkan tidak hanya menjadi siklus
niscaya zaman (Unplanned Social Change) tapi bisa diwujudkan secara
sadar dengan cara rekayasa sosial (Planned Social Change). Rekayasa
sosial adalah perubahan sosial yang direncanakan dan dilakukan karena munculnya
problem-problem sosial. Konsep rekayasa sosial menunjuk pada suatu upaya
mendesain atau mengkondisikan terjadinya perubahan struktur dan kultur
masyarakat secara terencana.
Sebuah realita sosial sangat
bisa direkayasa, baik dilakukan oleh sebuah sistem absolut maupun sistem yang
terdiskredit. Rekayasa sosial bisa menjadi sebuah alat untuk menciptakan
mindset dan paradigma tertentu terhadap tatanan masyarakat, apalagi sang perekayasa
adalah pemegang sistem absolut pada sebuah populasi (Majority).
Pertanyaannya adalah
seberapa identik rekayasa sosial dengan kelompok majority? Apakah kelompok
minority tidak bisa berkontribusi banyak pada inisiatif rekayasa sosial?
Menurut Kamaruzzaman, rekayasa
sosial memiliki 4 unsur pokok yang harus dipenuhi dalam eksekusinya yaitu
adanya aliran pemikiran (madzhab pemikiran), kelompok massif, setting sosial,
dan skenario.
Pertama,
aliran pemikiran menjadi yang paling substansi. Rekayasa sosial bisa dilakukan
dengan adanya sebuah aliran atau paradigma pemikiran yang mendasarinya. Aliran inilah
yang nantinya bisa memunculkan gerakan atau aksi sosial untuk sebuah perubahan
sosial.
Kedua,
rekayasa sosial juga diperlukan kelompok dalam mewujudkannya, sektor komunal
yang akan mengimplementasikan sebuah aliran pemikiran. Pemikiran perlu
menggerakkan suatu kelompok baik formal maupun nonformal. Kelompok ini akan
mensosialisasikan, membisikkan, bahkan mendoktrinkan sebuah aliran pemikiran
menjadi mindset yang nantinya mampu menyebar luas.
Ketiga,
adanya setting sosial yaitu konsep, metode, dan teori. Setting sosial
menjadi perangkat yang harus dikuasasi sebagai frame rekayasa sosiall.
Sebuah aliran pemikiran yang tergerakkan oleh suatu kelompok selanjutnya perlu
terbingkai dengan konsep, metode, dan teori yang memberi koridor sistematis.
Keempat,
skenario. Skenario berskala sempit maupun luas. Skenario sebagai landasan alur rekayasa
sosial dengkn memainkan berbagai peran dalam panggung eksekusinya.
Berdasarkan instrument-instrument
pokok tersebut, menjadi pandangan tersendiri dalam menyimpulkan bahwa siapapun
yang memenuhi instrument tersebut akan lebih mudah melakukan rekayasa sosial.
Kelompok majority yang dinisbatkan sebagai pemegang sistem akan lebih mudah
menguasai instrument pokok tersebut dimulai dari aliran pemikiran yang absolut,
kepemilikan kuantitas masa, kekuasaan terhadap akses publik yang mendukung setting
sosial,
dan keleluasaan terhadap kendali skenario di berbagai sector.
Pada isu internasional,
sebut saja China dinilai telah melakukan banyak rekayasa sosial dalam bermain
peran di kancah dunia. Seperti dugaan isu diskriminasi bahkan genosida terhadap
islam Uighur oleh pemerintah China di wilayah Xinjiang. Kemudian China sebagai salah
satu negara absolute power di Asia, melakukan langkah separatis dengan
menduduki laut china selatan dan mengobarkan hawa panas konflik di asia
tenggara, langkah tersebut dinilai sebagai salah satu cara untuk pengalihan
isu. Permainan isu isu untuk menutupi isu isu yang lebih penting.
Golongan absolute
power (Majority) bisa dinisbatkan pada pemegang sistem, sebut saja semisal
pemerintah. Pemerintah tentunya memiliki segala akses untuk melakukan rekayasa
sosial. Dimulai dari aliran pemikiran, pemerintah dinilai akan lebih mudah
untuk memberikan dominansi terhadap mindset yang tumbuh di masyarakat. Kemudian
terkait kelompok massif penggerak, pemerintah tentunya memiliki akses kuasa
terhadap beragam sector masa seperti komunitas, lembaga publik, bahkan aparatur
penegak hukum. Kemudian pemerintah akan lebih mudah melakukan Setting dan
skenario sosial, salah satu gambarannya dengan pemanfaatan media informasi publik
sebagai sarananya, media-media tersebut menjadi alat ampuh untuk menyuarakan suatu
informasi atau pemikiran yang nantinya bisa mempengaruhi masyarakat luas.
Kekuasaan bisa menjadi
alat legitimasi dalam hal apapun, dan majority menjadi golongan yang
paling mudah untuk melakukan rekayasa sosial. Setting sosial, dengan kebijakan
lebih bisa mengintervensi beragam fenomena sosial. Kebijakan tersebut termasuk
produk hukum yang sakan sangat mudah mengondisikan tatanan masyarakat bahkan
sampai ranah etika.
Lalu apakah golongan minority
tidak mampu efektif dalam melakukan rekayasa sosial?
Jawabannya tidak tentu.
Golongan minority tidak bisa selalu dinisbatkan sebagai golongan yang
terdiskreditkan sehingga lemah dan tidak memiliki pengaruh apapun. Justru
banyak sejarah perubahan sosial yang dilakukan oleh golongan yang tertindas.
Sebut saja Karl Marx, merupakan tokoh sosialisme yang berjuang melawan penindasan
kekuasaan kaum kapitalis. Karl Marx memandang bahwa sejatinya aktor utama yang
berperan penting dalam kelangsungan hidup suatu masyarakat adalah kelas-kelas
sosial. Keterasingan dan kemiskinan yang dialami manusia pun sesungguhnya
adalah hasil penindasan satu kelas oleh kelas lainnya.
Karl Marx menjadi sosok
fenomenal dengan pandangan sosialismenya yang menjadi dobrakan sejarah dan kekuatan
idealisme dunia sampai sekarang. Karl Marx mencita-citakan dan berjuang untuk
mewujudkan masyarakat tanpa kelas, masyarakat komunis, atau masyarakat yang
sama rasa dan sama rata, menghapuskan ideologi kapitalis yang meninjas
masyarakat proletar dan hanya menguntungkan pihak borjuis. Bahkan komunisme
sekarang menjadi ideologi besar dunia yang dianut oleh negara superpower seperti
Rusia dan China.
Hal tersebut menjadi
gambaran bahwa golongan yang terpojokkan justru mampu menciptakan gerakan perjuangan
guna menciptakan perubahan sosial. Hal tersebut selaras dengan pandangan Jalaluddin
Rahmat yang menyatakan bahwa salah satu penyebab perubahan sosial adalah karena
karena munculnya social movement (gerakan sosial), yakni sebuah gerakan
yang digalang sebagai aksi sosial berskala massif.
Dapat ditarik kesimpulan
pokok bahwa tidak perlu menjadi golongan majority atau pemegang sistem agar
kita mampu menciptakan rekayasa sosial untuk perubahan sosial yang lebih baik.
Rekayasa sosial bisa dilakukan oleh siapapun, tentunya dengan kemampuan analisa
sosial yang baik dan kepemilikan instrument pokok yang mendukung reksos. Hanya saja
golongan kecil akan cenderung mendapati banyak kesukaran dalam melakukannya.
Sebut saja dalam
berorganisasi, positioning kita menjadi salah satu faktor pendukung
dalam mengaplikasikan pemikiran yang inovatif untuk organisasi. Namun, hal
tersebut bukanlah faktor utama, yang lebih utama adalah kemauan dan kepekaan
kita dalam melakukan analisa sosial terhadap berbagai isu dan fenomena yang
terjadi, kemudian merancang dan mengaplikasikan langkah-langkah taktis untuk
menciptakan perubahan yang lebih baik.
Kepekaan dan kesadaran
sosial menjadi tuntutan tersendiri bagi generasi muda. Kemudian kemampuan
analisa sosial menjadi kebutuhan pokok tersendiri dalam positioning kita
mengarungi dinamika zaman. Kesatuan analisa sosial dan rekayasa sosial
(perubahan sosial) menjadi cara untuk menjaga dinamika sosial. Seperti yang
dikatakan Ibnu Khaldun bahwa siklus atau dinamika sosial peradaban mengalami
beberapa fase yaitu fase pendirian, pertumbuhan, perkembangan,dan berakhir
dengan kehancuran. Artinya suatu tatanan sosial nantinya akan menemui fase
kehancuran menurut Ibnu Khaldun, sehingga perlu dilakukan cara untuk manjaga
fase pertumbuhan dan perkembangan agar tidak memasuki fase kehancuran dan
dinamika tertap terjaga, cara itulah yang disebut rekayasa sosial (perubahan
sosial).
WISH YOU VICTORY….!
REFERENSI :
Jannah,
Maulana. 2021. Social Engineering, Studi Konsep dan Praktik.
Tasikmalaya: Pustaka Ellios. ISBN : 978-602-60842-1-7.
Nugraha, Leonardus Kristianto dan Yanuar Nugroho. 2012. Tentang Analisis Sosial. (Centre for Innovation Policy & Governance).
0 Comments