PERSPEKTIF
TENGAH-TENGAH (MIDDLE WAY)
MENIMBANG
SEBELUM MENYIMPULKAN
Rizky Ahmad Fahrezi
source gambar : indonesiana.id
Sebagai
sebuah entitas kehidupan, manusia memiiki cara pandang dalam memaknai beragam
hal yang terjadi di sekitar. Cara pandang tersebut kemudian menciptakan opini
dan opini selanjutnya termanifestasi menjadi statement atau tindakan.
Manusia
tidak lepas dari proses komunikasi dan interaksi yang melibatkan beragam unsur,
baik unsur mati maupun hidup. Proses komunikasi dan interaksi tersebut tentu
berdasar pada proses berpikir yang menafsirkan beragam unsur di sekitar,
penafsiran tersebut menciptakan cara pandang yang kemudian menentukan bagaimana
komunikasi, interaksi, dan tindakan akan disampaikan sebagai bentuk penyikapan
terhadap penafsiran tersebut.
Dari
sini dapat kita pahami bahwa berawal dari cara pandang dapat menentukan produk
komunikasi, interaksi, tindakan, bahkan sikap sehari-hari manusia.
Kita
tentunya mengenal istilah perspektif. Cara pandang diistilahkan dengan kata
perspektif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kesua dijelaskan bahwa perspektif
adalah sebuah sudut pandang mengenai realitas yang ditangkap oleh pengalaman
indera. Perspektif menyerupai pondasi dari segala pemikiran, maksudnya, pondasi
dalam menentukan apa yang benar dan yang salah bagi tiap individu. Selain itu,
perspektif untuk mengembangkan kehidupan ke arah yang lebih baik.
Menurut
Sumaatmadja dan Winardit, perspektif adalah cara pandang dan cara berperilaku manusia
terhadap suatu masalah ataupun kegiatan. Tersirat bahwa manusia akan selalu memiliki
perspektif yang digunakan untuk memahami sesuatu. Menurut Joel M. Charon,
perspektif adalah sebuah kerangka yang bersifat konseptual, perangkat nilai,
perangkat asumsi, dan juga perangkat gagasan yang nantinya akan mempengaruhi
persepsi dan tindakan yang akan diambil dalam situasi tertentu.
Berdasarkan
penjelasan-penjelasan tersebut, semakin jelas bahwa perspektif memiliki posisi
penting dalam mendasari segala hal yang dilakukan manusia, karena perspektif
berbasis pemikiran untuk memaknai, memahami, dan menafsirkan hal yang dialami.
Perspektif
merupakan sudut pandang manusia dalam melihat beragam hal yang dialami,
perspektif tersebut menyasar pada pemberian kesimpulan terhadap kondisi,
situasi, perasaan, bahkan terhadap entitas lain. Perdedaan perspektif manusia
tentunya akan selalu didapati, mengingat perspektif bersifat subjektif yang
secara sederhana bisa disimpulkan dengan pemaknaan like or dislike , manusia
satu dengan manusia yang lain pasti memiliki perbedaan dalam memutuskan apa
yang mereka suka dan tidak suka.
Semisal
kita mendapati orang lain telah berperilaku menyenangkan kepada kita, maka kita
akan menyimpulkan orang tersebut adalah orang baik dan kita menyukainya, namun
belum tentu orang tersebut dianggap baik dimata orang lain. Begitulah gambaran
sederhana terkait perbedaan perspektif.
Perbedaan
telah menjadi keniscayaan dalam berbagai sendi kehidupan. Perbedaan bahkan
ditemui dalam kasus-kasus sederhana, hal ini menunjukkan manusia memiliki sisi relative
masing-masing. Dalam lingkup berbangsa, perbedaan menjadi hal yang tidak bisa
dipisahkan mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan multicultural,
sudah barang ditemui perbedaan yang mengatasnamakan suku, ras, etnis, bahasa, warna
kulit, bahkan agama yang tak jarang memunculkan intensitas panas yang mengarah
pada perpecahan.
Perbedaan
perspektif atau pendapat juga telah mejadi ciri yang mengiringi suatu
keberagaman kepentingan. Beragam kepentingan apalagi kepentingan politik
memiliki titik adu yang mempertemukan irisan-irisan perbedaan yang tak jarang
menimbulkan gesekan dan konflik.
Dalam
lingkup akademik keilmuan, perbedaan khazanah keilmuan tidak bisa dihindarkan.
Dinamika pemikiran terus berjalan dengan perbedaan-perbedaan pandangan akan
diskursus keilmuan dari dasar pijakan, metodologi, hingga proses penyikapan dan
penciptaan produk berpikir. Keanekaragaman corak berpikir tersebut, apalagi kuatnya
subjektifitas masing-masing pemikiran sudah pasti menciptakan gesekan dalam perjalanannya.
Dalam
lingkup sosial, perbedaan cara berpikir dan orientasi kehidupan kelompok-kelompok
masyarakat juga tak sedikit memunculkan ketegangan. Bahkan perbedaan penilaian sekelas
antarpersonal dapat memunculkan perspektif berbeda yang juga tak jarang
menimbulkan mindset negatif sepihak.
Sekali
lagi, perbedaan merupakan hal mutlak yang tidak dapat di hindari, perbedaan
tentu seharusnya memungkinkan terjadinya interaksi yang dinamis dalam masyarakat,
perbedaan memantik perkembangan pola pikir dan pola gerak dalam suatu populasi
maupun entitas. Perbedaan juga membantu kita belajar saling menghormati,
menghargai dan menumbuhkan rasa toleransi. Namun perbedaan yang ada seringkali
di sikapi dengan pandangan negatif sehingga dapat terjadinya konflik yang
mengakibatkan perpecahan. Konflik tersebut dapat terjadi karena perbedaan yang
tidak di sikapi dengan bijaksana. Perbedaan ibarat pisau bermata dua, dia bisa
membawa ramah dan bisa pula membawa musibah.
Tidak
sedikit manusia atau masyarakat menolak tradisi, kepentingan, pendapat, dan
pemikiran orang lain karena bertentangan dengan perspektif yang disimpulkan dan
dianut. Terkadang, ketidakberpihakan suatu perspektif dengan perspektif lain disebabkan
karena pemahaman dan penafsiran sepihak tanpa menimbang dan menelaah perspektif
lain (subjektivitas yang berlebihan), hal ini rawan memunculkan truth claim
yang akhirnya menimbulkan perpecahan.
Pemikiran
tengah-tengah mampu menjadi solusi diantara beragam perbedaan yang terjadi. Pemikiran
yang mengambil dan memutuskan jalan tengah (middle way) diantara
irisan-irisan perspektif yang ditemui. Konsep ini juga disebut dengan pemikiran
moderat, moderat berarti sikap yang berada di tengah-tengah, tidak ekstrem
dalam pandangan atau tindakan. Ini mengacu pada sikap yang seimbang tidak
berlebih dan tidak keras. Pemikiran moderat mampu menjadi pijakan dalam
bertoleransi, bertenggang rasa, memecahkan kesenjangan sosial sehingga menciptakan
persatuan.
Pemikiran
tengah-tengah dapat membuka cakrawala perspektif dengan menimbang beragam
perspektif dan tidak memunculkan atau menguatkan perspektif sepihak. Pemikiran tengah-tengah
artinya berusaha untuk memberi tempat kepada perspektif lain dan tidak berusaha
menempatkan perspektif pribadi sebagai domain absolut yang harus diamini. Usaha
untuk selalu menimbang perspektif lain adalah sebuah kebijaksanaan tersendiri
disamping penguatan perspektif sepihak belaka.
Kita perlu untuk menimbang perspektif lain sebelum menafsirkan dan membuat keputusan. Perspektif pribadi belum tentu bersifat obyektif sehingga akan memunculkan pandangan sempit dalam menyikapi suatu kondisi. Gambaran sederhana dalam berpolitik, semisal kita sebagai seseorang yang telah menentukan militansi politik, menyimpulkan pandangan lawan politik lain selalu salah karena bertentangan dengan kepentingan dan pola pikir politik yang kita ikuti, karena pancaindra kita menangkap indikasi-indikasi perilaku yang tidak disukai dan cenderung mengancam eksistensi politik yang kita ikuti. Namun, belum tentu pandangan kita benar dan tepat. Sebagai masyarakat awam, kita perlu hati-hati dalam menentukan militansi dukungan dengan menimbang perspektif lain dalam menentukan keputusan, perspektif dari masyarakat maupun perspektif dari pemikiran politik lain, sehingga keputusan tepat dan bijaksana dapat diambil. Belum tentu pandangan politik kita dianggap baik pula oleh masyarakat, dan belum tentu pandangan lawan politik kita ditentang oleh masyarakat.
Terdapat
ungkapan yang berbunyi “Jika kita ibarat seekor ikan yang hidup disuatu kolam, jangan
mudah berkomentar buruk terhadap kualitas air di kolam lain sebelum kita
sebagai ikan telah masuk dan merasakan hidup dikolam tersebut”. Dari ungkapan
tersebut tersirat makna bahwa jangan mudah membuat penafsiran sepihak terhadap perspektif
lain sebelum kita mencari tahu, menelaah, dan menimbang perspektif tersebut.
Berdasarkan
gambaran diatas, perlu untuk tidak selalu meninggikan pandangan sepihak diatas
pendangan orang lain, tidak memenangkan pemikiran sepihak dengan mendiskreditkan
pemikiran lain.
Semakin
banyak perspektif yang ditelaah, maka semakin banyak pula pandangan yang akan
diperoleh dan nantinya mampu mejadi dasar penentuan sikap tengah-tengah yang
lebih luwes dan lebih bijaksana dalam menyikapi sebuah fenomena.
Dengan
prinsip pemikiran jalan tengah (middle way) dapat mengakomodir nilai
kebebasan dan pengakuan eksistensi lain, nilai keadilan, nilai tenggang rasa
dan saling menghormati.
REFERENSI
:
Zidna
Farhana, Zidna. “Moderasi Beragama : Jalan Tengah Menuju Harmonisasi Sosial”
Jamrah, Suryan. A. 2014. “Ikhtilaf Dan Etika Perbedaan Dalam Islam”. Toleransi:
Media Komunikasi Umat Bergama, Vol.6, No. 2.
0 Comments