LOGICAL FALLACY, JAMUR KEMAJUAN MEDIA DIGITAL
Rizky Ahmad Fahrezi
source gambar : www.tugu.com
Berpikir menjadi atribut murni
yang dimiliki oleh manusia. Tanpa berpikir manusia tidak akan bisa menjalankan
roda kehidupan, memenuhi kebutuhan, menyelesaikan masalah dan ancaman, serta
mencapai tujuan. Manusia hidup karena berpikir, manusia menggunakan pikiran
untuk menguraikan berbagai stimulus informasi atau pengetahuan yang didapat
baik berupa pengamatan maupun pembelajaran, kemudian menafsirkannya menjadi
sebuah kesimpulan, argumen, pemahaman, penentuan sikap, pergerakan, bahkan menghasilkan
produk pemahaman baru.
Berbicara tentang aktivitas
berpikir, tentu tidak jangkap ketika tidak menyinggung seputar logika sebagai dasarnya.
Logika dipahami teramat luas, menunjukkan suatu proses perkembangan pemikiran sejak
manusia ada, mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang
sesuatu yang belum mereka ketahui, yang kemudian ternyata diperoleh semacam
keuntungan yang tidak sedikit terutama bagi pengembangan hidup manusia. Logika
merupakan suatu ilmu pengetahuan dimana objek material nya adalah berfikir
(khususnya penalaran).
Penalaran merupakan suatu
proses berfikir yang membuahkan pengetahuan (produk berpikir). Agar pengetahuan
yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berfikir itu
harus dilakukan suatu cara tertentu. Produk berpikir menjadi hal yang krusial.
Tingkat krusial tersebut membawa pada penentuan baik tidaknya pola argumen dan
sikap yang diimplementasikan pada wilayah tertentu. Maka dari itu untuk mendapatkan
produk berpikir yang sesuai, terarah dan berkualitas maka manusia menciptakan
beragam metodologi berpikir.
Namun, terkadang dalam proses
pengimplementasian berpikir manusia tidak selalu mendalami metodologi tersebut
bahkan tidak sedikit yang mengalami kekeliruan penalaran logika (logical
fallacy). Terlebih masyarakat masa kini yang menjadi pengguna beragam
kemajuan teknologi informasi, mengalami fenomena keterbukaan informasi dan
kebebasan berpendapat yang tidak lagi dibatasi. Sehingga sangat memungkinkan suburnya
informasi yang kurang kredibel dan munculnya argumen-argumen liar bahkan toxic
interactions.
Kebebasan berpendapat yang tidak
lagi dibatasi dalam ekosistem digital masa kini dapat menyebabkan masyarakat
rentan untuk mengkonsumsi beragam informasi tanpa menyaringnya dahulu. Hal ini
dikhawatirkan menjadikan pemahaman masyarakat hanya bersifat permukaan, dan menjadi
dasar penciptaan argumen yang belum tentu benar bahkan mengarah pada kekeliruan
berpikir.
Manusia adalah makhluk
rasional tapi tidak tentu logis, terkadang terpengaruh emosi dalam pengambilan
keputusan. Kombinasi perasaan dan pemikiran rasional rentan membuat kekeliruan
logika yang tidak selalu nampak salah. Manusia cenderung mengedepankan sesuatu
yang menguntungkan dirinya baik dalam proses berpikir dan pengambilan keputusan
sebagai hasil berpikir. Steven Sloman seorang professor psikologi menyatakan
bahwa manusia sering hanya memahami konsep permukaan yang sering diyakini benar.
Yang artinya manusia hanya cenderung mempelajari dan menafsirkan suatu
informasi secara sekilas tanpa pendalaman lebih kritis, kemudian dijadikan
dasar keputusan bahkan judgmen yang cenderung mengedepankan kepentingan
sepihak.
Era kemajuan teknologi digital
membawa pengaruh signifikan dalam pembentukan pola pikir dan pengambilan
keputusan masyarakat masa kini. Tidak sedikit masyarakat sangat mudah
mempercayai informasi yang tersuguhkan dalam suatu media secara sekilas tanpa
menelitinya terlebih dahulu, tentu hal ini sangat mengkhawatirkan menimbang kualitas
informasi yang tidak selalu valid. Apalagi generasi muda masa kini sebagai main
subject sirkulasi penggunaan teknologi digital tentu sangat rawan terhadap
fenomena tersebut. Terlebih generasi muda adalah generasi yang masih mencari
jati diri dengan gejolak emosi, perasaan, pengetahuan, dan pengalaman yang
belum matang.
Tentu topik perbincangan seputar
generasi muda yang sangat dimungkinkan melakukan kesalahan logika berpikir (logical
fallacy) menjadi sangat menarik dan penting. Apalagi ditengah kemajuan teknologi
digital ini, tanpa disadari logical fallacy semakin nampak dan menjamur (tanpa
sadar dilakukan sehari-hari) dalam platform media sosial yang mendukung pemahaman
permukaan dan argumen liar bermunculan tanpa penyaringan.
Seperti contoh ketika fenomena
FOMO menjadi atribut seorang anak muda. Semisal terdapat seorang anak muda mencoba
mengikuti alur informasi seputar politik negara karena sekedar turut ambil
eksistensi (FOMO) pada topik yang sedang ramai dibahaskan masyarakat luas.
Tanpa modal pengetahuan yang cukup dan riset terkait topik politik yang sedang
diperbincangkan, dia mencoba berargumen di media sosial menanggapi sebuah statement
dari salah satu figur politik yang tidak ia disenangi. Dia menghujat statement
figur tersebut hanya karena tidak menyukainya, mulai mencacinya dengan kata kotor,
dan bahkan menghujat fisik sang figur.
Berdasarkan contoh diatas,
tentu merupakan hal yang tidak benar. Dalam konteks pemahaman materi anak muda
tersebut tentu belum kompeten ketika harus menanggapi persoalan politik secara
mendalam, namun kebebasan berargumen memang menjadi hak semua warga negara, hanya
saja tentu ketersampaian argumen harus berdasar pada pengetahuan dan penelitian
yang cukup sehingga argumen mendasar, konstruktif, dan rasional. Imbas dari
pemahaman dan pengetahuan yang kurang tersebut akhirnya timbullah argumen
sepihak, cacian dan hujatan fisik di media sosial (cyber bullying). Hal
ini dapat dikatakan logical fallacy.
Logical fallacy adalah kesesatan logika
berpikir yang timbul karena terjadi ketidaksesuaian antara apa yang dipikirkan
dan bahasa yang digunakan untuk merumuskan pokok pikiran. Penalaran yang sesat
ini dapat terjadi apabila susunan premis yang ada tidak menghasilkan suatu
kesimpulan yang benar. Dalam artian kesesatan atau fallacy muncul ketika suatu argumen terbentuk dari premis-premis yang tidak berkaitan
dengan argumen yang ada.
Berikut beberapa macam logical
fallacy yang mungkin terjadi pada generasi masa kini tanpa disadari:
§ Ad hominem : Menyerang orang karena tidak setuju, mendiskreditkan
argumen lawan bicara, menyerang karakter personal, bahkan mengarah ke hujatan fisik.
Contoh ungkapan : “Pejabat
itu munafik sekali, dulu dia pernah memusuhi lawan politiknya, eh sekarang
malah jadi pengikut lawan politiknya ketika dia kalah, menjijikkan!.”
Hal ini menunjukkan
pemikiran yang dangkal dan hanya bersifat permukaan, tanpa adanya pengetahuan dan
penelitian yang cukup seputar topik yang dibahas, yang akhirnya muncul argumen
sarkas.
§ Straw Man : Lawan bicara mengambil argumen yang kemudian diperlemah,
ide seseorang didistorsi agar tidak masuk akal atau lemah.
Contoh ungkapan : “Dia
selalu ingin mewujudkan ide dengan akomodasi uang, berarti dia adalah orang yang
memandang uang adalah segalanya sehingga iya tidak baik untuk proyek ini.”
Hal ini
menunjukkan argumen yang mendistorsi lawan dengan melemahkan figurnya.
§ False Dilemma (pilihan palsu) : Menyajikan dua pilihan asumsi seakan
menjadi satu-satunya kemungkinan (menyempitkan), padalah masih banyak alternatif
asumsi lain, serta menutup potensi diskusi yang mengarah pada penentun solusi.
Contoh ungkapan : “Kamu
harus setuju dengan keputusan saya, kalau tidak berarti kamu adalah musuh saya”
Hal ini menunjukkan
pemikiran yang sempit karena hanya menyajikan dua opsi dimana sebenarnya sangat
banyak opsi lain yang lebih membukaka perspektif yang luas, hal ini dapat
menghampat perkembangan sebuah opini dan diskusi.
§ Red Herring : Mengalihkan perhatian dari topik utama dengan bahasan
yang tidak relevan
Contoh ungkapan : “Jangan
terlalu percaya dengan pejabat itu, karena semua pejabat itu kejam, apalagi
sistem negara saat ini tidak ada yang sehat.”
Hal ini
menunjukkan bentuk peralihan pembahasan dengan mengangkat topik yang tidak relevan
bahkan mendiskreditkan pihak tertentu.
§ Ad Populum : Berargumen bahwa sebuah gagasan pasti benar hanya karena
banyak orang mempercayai atau
menyetujuinya (populer).
Contoh kejadian :
Dahulu sebelum renaisance, para ilmuwan yang mendukung teori bumi mengitari matahari
ditahan dan dihukum karena dianggap tidak benar, pemahaman mayoritas (kaum
gereja) kala itu adalah bumi lah yang menjadi pusat tata surya.
§ Ad Crumenam : Berargumen bahwa orang yang kaya adalah orang yang selalu
benar.
Beberapa macam logicak
falacy tersebut belum disebutkan secara keseluruhan. Berdasarkan hal itu, dapat
digambarkan bagaimana logical fallacy sangat mungkin dialami oleh
generasi masa kini apalagi dengan mudahnya akses media sosial. Bagaimana media
sosial menjadi ladang munculnya argume liar, argumen permukaan, cacian, bahkan
saling menjatuhkan.
Dikenal dengan istilah netizen
maha benar, menjadi domain mindset tersendiri dimana pengguna media
sosial berusaha mempertahankan predikat itu dengan tampil tanpa kesalahan. Berusaha
mempertahankan argumennya agar selalu dibenarkan padahal belum tentu benar. Logical
fallacy akan cenderung menutupi kesalahan nyata yang dialami, karena
terlihat benar.
Proses berargumen sebagai
upaya mengemukakan pendapat terkadang tidak melewati langkah berpikir yang
benar. Karena ingin membenarkan argumennya, seseorang kemudian berpendapat
semaunya tanpa mempertimbangkan apa yang ia katakan termasuk logika berpikir
yang digunakan. Tidak jarang kemudian argumen yang dikemukakan sebenarnya salah
dan tidak memenuhi kaidah logika sehingga menimbulkan kesimpulan yang salah
pula.
Terdapat setting
goals yang memang
menjadi orientasi utama dasar berargumen. Apabila argumen disampaikan karena setting goals untuk validasi kebenaran (selalu
ingin dibenarkan) dan dengan subjektifitas keputusan maka seseorang tidak sadar
bahwa argumennya terdapat fallacy.
Menghindari kesalahan berpikir
bisa membantu berpikir lebih kritis dan membuka diskusi lebih sehat dan
produktif. Generasi masa kini sudah seharusnya lebih liabel terhadap proses
berpikir beragam unsur yang memenuhi ekosistem masa kini, baik peradaban maya
maupun nyata. Terlebih dunia digital sangat rawan dengan munculnya informasi
dan pola komunikasi yang kurang rasional dan tidak bernilai baik karena proses
berpikir yang salah. Hal ini dapat dikelola dengan lebih baik apabila kemampuan
berpikir analitis dan kritis dibiasakan. Serta pembiasaan membangun argumen yang
berdasar, obervatif, dan research habbits juga menjadi hal yang tak
kalah penting.
REFERENSI
:
Nizwana, Yulia. 2021. “Logical Fallacy Dan Pertentangan Moral Dalam
Pembebasan Narapidana di Era Pandemi Covid-19”. Riau Law Journal. Universitas
Mahaputra Muhammad Yamin: Fakultas Hukum. Vol. 5, No. 2.
0 Comments