Work Place Phenomenon : Burn Out Menjadi Kerawanan Generasi Masa Kini?
Rizky Ahmad Fahrezi
Sudah menjadi rutinitas umum manusia
menjalani hari-hari sebagai entitas pengejar kebutuhan dengan melakukan
pekerjaan. Manusia menjadi makhluk yang tidak akan lepas dari pemenuhan
kebutuhan, karena pada sadarnya manusia memiliki keinginan dan tuntutan untuk
bertahan hidup, meningkatkan kesejahteraan, serta menggapai kepuasan.
Manusia terus berusaha mencari
cara untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan, serta
kebutuhan lain seperti pendidikan, hiburan, dan pengakuan sosial. Kebutuhan
yang menyangkut materi dan paling esensial dicari dengan cara melakukan
pekerjaan untuk mendapati pendapatan.
Namun, sebagai makhluk yang
terbatas tentu manusia mendapati kondisi kelelahan baik dalam fisik, mental,
dan emosional. Kondisi tersebut menjadi kewajaran ketika manusia melakukan pekerjaan
yang nantinya menguras pikiran, tenaga, dan sumber daya. Akan tetapi, menjadi
sebuah ketidakwajaran ketika didapati kondisi kelelahan mental dan emosional,
keadaan stress berkepanjangan yang ekstrem atau disebut dengan burn out.
Burn out pertama kali
diperkenalkan oleh Herbert Freudenberger pada tahun 1974 untuk menjelaskan
fenomena ketidakmampuan seseorang dalam mengelola dan mengatasi stress di tempat
kerja. Burn out adalah kondisi
stress kerja yang kronis. Menurut Maslach dan Leiter burn out merupakan
reaksi sindrom psikologis yang meliputi
kelelahan, depersonalisasi dan menurunnya kemampuan dalam melakukan tugas-tugas
rutin seperti mengakibatkan timbulnya rasa cemas, depresi, atau bahkan dapat
mengalami gangguan tidur. Burn out merupakan suatu situasi dimana pekerja
menderita kelelahan kronis, kebosanan, depresi dan menarik diri dari pekerjaan.
Menurut Maslach, Schaufeli dan
Leiter burn out mempunyai tiga dimensi yaitu kelelahan emosional,
depersonalisasi, dan penurunan pencapaian. Kelelahan emosional adalah
kondisi habisnya energi hingga mumculnya perasaan kosong yang tidak teratasi. Depersonalisasi
adalah munculnya perasaan sinis dan tidak berperasaan terhadap orang
lain, dalam artian rekan kerja cenderung menjadi objek acuh agar mencapai rasa
aman. Penurunan pencapaian terjadi ketika seorang individu tidak merasa
puas dengan kinerja pribadi bahkan dengan kehidupan yang dimiliki.
Burn out merupakan fenomena
di dunia pekerjaan (work place phenomenon) yang tidak jarang dijumpai
bahkan menjadi hal yang umum. Berdasarkan CNN, pada tahun 2021 terdapat 77,3 % responden
yang mengaku pernah mengalami burn out. Menurut Deloitte, 52% generasi Z
di seluruh dunia pernah mengalami burn out. Berdasarkan source tersebut,
menunjukkan bahwa fenomena ini tidak bisa dianggap remeh bahkan harus disikapi.
Generasi masa kini dalam arti
khusus generasi Z (yang sudah mulai bekerja) dinilai sangat rawan terjangkiti
pengalaman stress kronis . Mengingat generasi Z adalah individu yang dinilai memiliki
kondisi psikologis atau mental yang rentan dan kompleks. Beragam permasalahan
psikologis ditaksir mudah dialami generasi Z seperti mood swing,
kecemasan, ketakutan berlebih (termasuk FOMO), standarisasi hidup tinggi, mudah
overthinking, pemikir instan, anti sosial, kurangnya komitmen hingga
terlalu mudah menyerah (pesimisme).
Hal tersebut menjadi pekerjaan
rumah (PR) tersendiri baik bagi individu yang bersangkutan maupun bagi elemen
masyarakat luas pada umumnya untuk mengatasi masalah psikologi atau emosional, dengan
harapan mengurangi keterpaan stress dan exhaustion (kelelahan berlebih) khususnya bagi para pekerja muda.
Meskipun di sisi lain generasi Z
dinilai memiliki kinerja yang lebih kratif dan lebih cepat. Berdasarkan penelitian
dari Irena & Rusfian pada tahun 2019, menemukan hal bahwa para karyawan gen
Z memiliki kinerja yang baik dan memiliki kualitas kerja yang lebih cepat
dibandingkan dengan generasi pendahulunya. Penelitian mengenai motivasi kerja
serta kinerja karyawan gen Z sudah banyak dilakukan, namun bagaimana gen Z
menghadapi tuntutan kerja yang tinggi belum banyak diteliti, terutama di
Indonesia.
Generasi Z mendapati berbagai
tantangan baik secara individual maupan sosial dalam kaitan professionalitas
kerja. Diantaranya perbedaan kultur flexsibility, ekspteasi atau
standarisasi hidup tinggi, komunikasi kolaborasi, pengalaman keterampilan, manajemen
emosional, dan komitmen kerja (work intensity). Berikut uraiannya :
Kultur flexsilibity adalah
kondisi kebiasaan yang menyangkut fleksibilitas pekerjaan, generasi masa kini
atau gen Z dinilai cenderung suka menjalankan pekerjaan fleksibel, hal ini
dapat menjadi tantangan ketika pekerjaan yang dihadapi tidak menyuguhkan
demikian ditambah patner kerja yang berbeda persepsi (kultur generasi
sebelumnya) juga riskan menimbulan gesekan.
Ekspetasi
atau standarisasi hidup tinggi adalah kondisi dimana generasi masa kini memiliki
ekspetasi besar di hidup mereka, hal tersebut akan memicu banyaknya keinginan
yang diwujudkan sehingga potensi kelelahan fisiologis maupun emosional akan
didapati adanya.
Komunikasi kolaborasi
menyangkut kebiasaan komunikasi dan interaksi generasi masa kini yang
menggunakan platform digital, hal ini memunculkan berbagai tantangan disamping
tantangan tuntutan penguasaan teknologi juga tantangan akan gesekan dengan
persepsi sebelumnya (generasi sebelumnya) yang cenderung kurang mumpuni dengan
platform digital.
Pengalaman
Keterampilan, dimana generasi masa kini tentu memiliki tantangan untuk selalu
mengembangkan soft skill nya.
Generasi yang secara pengalaman kerja tentu dibawah generasi sebelumnya. Hal
ini sangat berpengaruh pada kemampuan adaptasi di dunia kerja.
Manajemen emosional,
dimana seperti bahasan sebelumnya bahwa generasi masa kini cenderung
memiliki permasalahan psikologi atau emosional yang lebih kompleks. Masalah
mental hingga berujung pengakhiran hidup akibat intensitas kerja tidak sedikit
didapati. Hal ini menjadi perhatian ekstra bagi individu maupun masyarakat
untuk menyikapi kondisi demikian, menjadi tantangan untuk selalu meningkatkan
kemampuan manajemen emosional.
Komitmen kerja
adalah salah satu yang paling penting dimiliki dalam pekerjaan. Namun,
komitmen kerja menjadi tantangan bagi generasi masa kini karena mereka dinilai
kurang berkomitmen maksimal terhadap pekerjaan. Pada penelitian yang dilakukan
oleh IDN Research
Insitute pada tahun 2019 menyimpulkan bahwa generasi masa kini cenderung
bekerja dalam kurun waktu 2-3 tahun saja dan akan mencoba untuk mencari
pekerjaan di tempat lain.
Aspek-aspek yang terurai diatas menjadi
salah satu tolak ukur bagi masyarakat khususnya generasi muda untuk melakukan
refleksi diri menyangkut pekerjaan dan kondisi emosional yang mungkin sedang
dialami. Refleksi ini menjadi sketsa terhadap batasan kemampuan pikiran
terhadap forsir dan kuantitas pekerjaan. Sehingga kondisi kelelahan yang
berujung fatal bisa bertahap dieliminir.
REFERENSI
Firdaus, Ahmad dkk. 2021. “Burnout Syndrome dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya”. Jurnal Ilmiah Ekonomi dan Bisnis. ISSN : 2087-5304.
Efendi, Muhamad Agus Efendi. 2023. Pengaruh Burnout Dan
Work-Life Balance Terhadap Quiet Quitting Pada Pekerja Generasi Milenial Di
Kota Malang. Malang : UIN Maulana Malik Ibrahim.
0 Comments