Work Place Phenomenon : Burn Out Menjadi Kerawanan Generasi Masa Kini?

Work Place Phenomenon : Burn Out Menjadi Kerawanan Generasi Masa Kini?

Rizky Ahmad Fahrezi


source gambar : iStock.com

Sudah menjadi rutinitas umum manusia menjalani hari-hari sebagai entitas pengejar kebutuhan dengan melakukan pekerjaan. Manusia menjadi makhluk yang tidak akan lepas dari pemenuhan kebutuhan, karena pada sadarnya manusia memiliki keinginan dan tuntutan untuk bertahan hidup, meningkatkan kesejahteraan, serta menggapai kepuasan.

Manusia terus berusaha mencari cara untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan, serta kebutuhan lain seperti pendidikan, hiburan, dan pengakuan sosial. Kebutuhan yang menyangkut materi dan paling esensial dicari dengan cara melakukan pekerjaan untuk mendapati pendapatan.

Namun, sebagai makhluk yang terbatas tentu manusia mendapati kondisi kelelahan baik dalam fisik, mental, dan emosional. Kondisi tersebut menjadi kewajaran ketika manusia melakukan pekerjaan yang nantinya menguras pikiran, tenaga, dan sumber daya. Akan tetapi, menjadi sebuah ketidakwajaran ketika didapati kondisi kelelahan mental dan emosional, keadaan stress berkepanjangan yang ekstrem atau disebut dengan burn out.

Burn out pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Freudenberger pada tahun 1974 untuk menjelaskan fenomena ketidakmampuan seseorang dalam mengelola dan mengatasi stress di tempat kerja.  Burn out adalah kondisi stress kerja yang kronis. Menurut Maslach dan Leiter burn out merupakan reaksi  sindrom psikologis yang meliputi kelelahan, depersonalisasi dan menurunnya kemampuan dalam melakukan tugas-tugas rutin seperti mengakibatkan timbulnya rasa cemas, depresi, atau bahkan dapat mengalami gangguan tidur. Burn out merupakan suatu situasi dimana pekerja menderita kelelahan kronis, kebosanan, depresi dan menarik diri dari pekerjaan.

Menurut Maslach, Schaufeli dan Leiter burn out mempunyai tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian. Kelelahan emosional adalah kondisi habisnya energi hingga mumculnya perasaan kosong yang tidak teratasi. Depersonalisasi adalah munculnya perasaan sinis dan tidak berperasaan terhadap orang lain, dalam artian rekan kerja cenderung menjadi objek acuh agar mencapai rasa aman. Penurunan pencapaian terjadi ketika seorang individu tidak merasa puas dengan kinerja pribadi bahkan dengan kehidupan yang dimiliki.

Burn out merupakan fenomena di dunia pekerjaan (work place phenomenon) yang tidak jarang dijumpai bahkan menjadi hal yang umum. Berdasarkan CNN, pada tahun 2021 terdapat 77,3 % responden yang mengaku pernah mengalami burn out. Menurut Deloitte, 52% generasi Z di seluruh dunia pernah mengalami burn out. Berdasarkan source tersebut, menunjukkan bahwa fenomena ini tidak bisa dianggap remeh bahkan harus disikapi.

Generasi masa kini dalam arti khusus generasi Z (yang sudah mulai bekerja) dinilai sangat rawan terjangkiti pengalaman stress kronis . Mengingat generasi Z adalah individu yang dinilai memiliki kondisi psikologis atau mental yang rentan dan kompleks. Beragam permasalahan psikologis ditaksir mudah dialami generasi Z seperti mood swing, kecemasan, ketakutan berlebih (termasuk FOMO), standarisasi hidup tinggi, mudah overthinking, pemikir instan, anti sosial, kurangnya komitmen hingga terlalu mudah menyerah (pesimisme).

Hal tersebut menjadi pekerjaan rumah (PR) tersendiri baik bagi individu yang bersangkutan maupun bagi elemen masyarakat luas pada umumnya untuk mengatasi masalah psikologi atau emosional, dengan harapan mengurangi keterpaan stress dan exhaustion (kelelahan berlebih) khususnya bagi para pekerja muda.

Meskipun di sisi lain generasi Z dinilai memiliki kinerja yang lebih kratif dan lebih cepat. Berdasarkan penelitian dari Irena & Rusfian pada tahun 2019, menemukan hal bahwa para karyawan gen Z memiliki kinerja yang baik dan memiliki kualitas kerja yang lebih cepat dibandingkan dengan generasi pendahulunya. Penelitian mengenai motivasi kerja serta kinerja karyawan gen Z sudah banyak dilakukan, namun bagaimana gen Z menghadapi tuntutan kerja yang tinggi belum banyak diteliti, terutama di Indonesia.

Generasi Z mendapati berbagai tantangan baik secara individual maupan sosial dalam kaitan professionalitas kerja. Diantaranya perbedaan kultur flexsibility, ekspteasi atau standarisasi hidup tinggi, komunikasi kolaborasi, pengalaman keterampilan, manajemen emosional, dan komitmen kerja (work intensity). Berikut uraiannya :

Kultur flexsilibity adalah kondisi kebiasaan yang menyangkut fleksibilitas pekerjaan, generasi masa kini atau gen Z dinilai cenderung suka menjalankan pekerjaan fleksibel, hal ini dapat menjadi tantangan ketika pekerjaan yang dihadapi tidak menyuguhkan demikian ditambah patner kerja yang berbeda persepsi (kultur generasi sebelumnya) juga riskan menimbulan gesekan.

Ekspetasi atau standarisasi hidup tinggi adalah kondisi dimana generasi masa kini memiliki ekspetasi besar di hidup mereka, hal tersebut akan memicu banyaknya keinginan yang diwujudkan sehingga potensi kelelahan fisiologis maupun emosional akan didapati adanya.

Komunikasi kolaborasi menyangkut kebiasaan komunikasi dan interaksi generasi masa kini yang menggunakan platform digital, hal ini memunculkan berbagai tantangan disamping tantangan tuntutan penguasaan teknologi juga tantangan akan gesekan dengan persepsi sebelumnya (generasi sebelumnya) yang cenderung kurang mumpuni dengan platform digital.

Pengalaman Keterampilan, dimana generasi masa kini tentu memiliki tantangan untuk selalu mengembangkan soft skill nya. Generasi yang secara pengalaman kerja tentu dibawah generasi sebelumnya. Hal ini sangat berpengaruh pada kemampuan adaptasi di dunia kerja.

Manajemen emosional, dimana seperti bahasan sebelumnya bahwa generasi masa kini cenderung memiliki permasalahan psikologi atau emosional yang lebih kompleks. Masalah mental hingga berujung pengakhiran hidup akibat intensitas kerja tidak sedikit didapati. Hal ini menjadi perhatian ekstra bagi individu maupun masyarakat untuk menyikapi kondisi demikian, menjadi tantangan untuk selalu meningkatkan kemampuan manajemen emosional.

Komitmen kerja adalah salah satu yang paling penting dimiliki dalam pekerjaan. Namun, komitmen kerja menjadi tantangan bagi generasi masa kini karena mereka dinilai kurang berkomitmen maksimal terhadap pekerjaan. Pada penelitian yang dilakukan oleh IDN Research Insitute pada tahun 2019 menyimpulkan bahwa generasi masa kini cenderung bekerja dalam kurun waktu 2-3 tahun saja dan akan mencoba untuk mencari pekerjaan di tempat lain.

Aspek-aspek yang terurai diatas menjadi salah satu tolak ukur bagi masyarakat khususnya generasi muda untuk melakukan refleksi diri menyangkut pekerjaan dan kondisi emosional yang mungkin sedang dialami. Refleksi ini menjadi sketsa terhadap batasan kemampuan pikiran terhadap forsir dan kuantitas pekerjaan. Sehingga kondisi kelelahan yang berujung fatal bisa bertahap dieliminir.

 

 

REFERENSI

Firdaus, Ahmad dkk. 2021. “Burnout Syndrome dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya”. Jurnal Ilmiah Ekonomi dan Bisnis. ISSN : 2087-5304.

Efendi, Muhamad Agus Efendi. 2023. Pengaruh Burnout Dan Work-Life Balance Terhadap Quiet Quitting Pada Pekerja Generasi Milenial Di Kota Malang. Malang : UIN Maulana Malik Ibrahim.

 

Post a Comment

0 Comments